Sabtu, 04 November 2017

PERBANDINGAN MABDA




Konsep Mabda
            Mabda dalam bahasa Arab berasal dari kata bada’a-yabda’u-bad’an-mabda'an yang artinya adalah memulai. Namun menurut istilah mabda berarti pemikiran yang mendasar yang di atasnya dibangun pemikiran-pemikiran lain.
            Pemikiran mendasar yang dimaksud adalah pemikiran yang universal (menyeluruh) tentang kehidupan, alam semesta dan manusia serta meliputi pemikiran tentang kehidupan sebelum dan setelah dunia serta hubungan ketiga hal tadi dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia.
            Dari pemikiran mendasar ini akan muncul pemikiran-pemikiran lain yang merupakan pemikiran cabang, sehingga akan melahirkan aturan-aturan kehidupan secara menyeluruh.
            Ketika seorang manusia menganut suatu mabda, maka ketika itu berarti dia telah memiliki pemikiran yang mendasar yang merupakan landasan bagi pemikiran lain setelahnya, maka ketika itu pula dia akan melangkah dalam kehidupannya dengan jelas dan terarah sesuai dengan arahan dari mabdanya.
Mabda yang dianutnya akan melahirkan aturan kehidupan, sehingga akan terpecahkan seluruh problematika kehidupannya. Maka mabda adalah pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan (aqidah aqliyah) yang memancarkan sistem aturan kehidupan (nidzhom). Pada saat permasalahan kehidupan manusia dapat terjawab, dengan sendirinya manusia ini akan maju dan bangkit. Jadi mabda adalah satu-satunya pengikat antar manusia yang dapat mengantarkan mereka pada kemajuan hidup dan kebangkitannya.

Keshahihan Sebuah Mabda
            Sebagai sebuah mabda, yang dia merupakan pemikiran universal serta melahirakn aturan-aturan kehidupan, dapat dijadikan pengikat antar manusia sehingga dapat membawa mereka kepada kemajuan dan kebangkitan dalam kehidupannya. Namun demikian, tidak setiap mabda dapat membawa manusia kepada kebangkitan dan kemajuan yang benar (shahih), karena tergantung pada aqidahnya, jika benar aqidahnya maka benarlah mabdanya benar pula kebangkitan yang dihasilkannya. Sebaliknya jika salah aqidahnya, maka salah pula mabdanya sehingga salahlah kebangkitan yang dihasilkannya.
            Mabda yang shahih (benar), haruslah sesuai fitrah, meuaskan akal dan menentramkan hati. Adapun sesuai fitrah maksudnya adalah sesuai dengan gharizah taddayun, yaitu mengakui bahwa manusia itu lemah dan sangat membutuhkan kepada penciptanya. Sedangkan memuaskan akal berarti dia dibangun berdasarkan akal sehat manusia bukan didasarkan pada materi atau selain dari itu.
            Dari tiga mabda ini, hanya mabda Islamlah yang merupakan mabda yang shahih, karena sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal serta menentramkan hati. Adapun Kapitalisme dan Sosialisme adalah mabda yang lahir akibat kezaliman manusia. Mabda ini lahir setelah terjadinya penindasan Gereja pada abad pertengahan. Dorongan yang lahir waktu itu menolak intervensi agama sama sekali atau menerima dengan syarat. Dari sinillah, sejarah Kapitalisme dan Sosialisme sebagai mabda kemudian bermuara dan berkembang. Dari segi sumber ajaran, masing-masing mabda tersebut bersumber dari akal. Akallah yang menentukan segalanya, baik yang berkaitan dengan akidah maupun sistemnya. Semuanya ditentukan oleh akal manusia.
Dari segi akidah, Kapitalisme dibangun berdasarkan ide pemisahan antara agama dengan kehidupan (fashl ad-din 'an al-hayat) atau yang popular dengan istilah Sekulerisme. Kapitalisme masih mengakui eksistensi agama, tetapi agama tidak boleh mengatur urusan kehidupan manusia. Agama hanya diberi otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dalam masalah ritual dan spiritual, sedangkan masalah kehidupan, manusialah  yang berhak mengatur sendiri urusannya. Sebab ini merupakan urusan manusia dengan manusia, bukan manusia dengan Tuhan. Karen akidahnya seperti ini, maka pandangan hidupnya menjadi pragmatis, yang melakukan dan meninggalkan sesuatu berdasarkan asa manfaat (pertimbangan untung rugi), artinya, jika ada keuntungan akan dilakukan, tetapi kalau menyebabkan kerugian akan ditinggalkan. Inilah asas manfaat yang menjadi pandangan orang Kapitalis. Agar pandangan tersebut bisa direalisasikan, orang Kapitalis menetapkan Liberalis (kebebasan) sebagai metodenya.
Dengan kedua standar diatas, kesalahan Kapitalisme dapat dijelaskan, anatara lain:
Pertama, dari segi kesesuaiannya dengan fitrah manusia, dapat dijelaskan, bahwa manusia mempunyai fitrah beragama yang dengan fitrah tersebut dia memerlukan Dzat Yang Maha Agung dan itulah Tuhan. kebut uhan manusia pada Tuhan sesungguhnya tidak terbatas pada waktu ibadah, sebab diluar ibadah pun manusia tetap manusia, yang memepunai kelemahan, kekurangan dan karena itu memerlukan Dzat Yang Maha Agung. Kabutuhan manusia kepada Dzat Yang Maha Agung ini merupakan  fitrah. Meskipun ketika keperluan ini tidak dipenuhi tidak akan menyebabkan kematian. Namun harus difahami, bahwa kelemahan dan kekurangan manusia mengharuskan adanya kebutuhan manusia pada Dzat Yang Maha Agung. Hal ini memustahilkan fitrah manusia terpuaskan oelh sesamanya. Karena itu, jika konsepsi mabda ini mengajarkan pamisahan agama dari kehidupan, artinya akidah tersebut bertentangan dengan fitrah manusia yang lemah, yang seakan-akan manusia mempunyai fitrah Maha Kuasa, termasuk kekuasaan mengatur kehidupannya. Belum lagi akal yang menghasilkan mabda ini cenderung berubah, mempunyai keterbatasan dan tidak konsisten. Jika sumber mabda tersebut seperti ini, berarti produk mabdanya juga sama, yakni sama-sama kacau, lemah dan terbatas.
Kedua, kesalahan mabda tersebut dilihat dari segi asas karena tidak dibangun berdasarkan akal, dapat difahami, bahwa Kapitalisme adalah mabda yang dibangun berdasarkan prinsip kompromi (al-hall al-wasath) antara tokoh gereja dengan filsuf. Bukan karena pertimbangan logis menurut akal. Artinya, mereka menetapakan langkah kompromi untuk mendamaikan konflik yang terjadi antara pihak gereja dengan kaum intelektual. Maka, dalam berbagai aspek mabda ini telah mengkompromikan antara yang haq dengan yang bathil, antara Islam dengan kekufuran, dan antara petunjuk dengan kesesatan. Karena itu, kapitalisme yang dibangun berdasarkan ide pemisahan antara agama dengan kehidupan itu bukan karena pertimbangan rasional, melainkan karena unsaha untuk mendamaikan konflik yang terjadi.         
Sedangkan Sosialisme dan Komunisme, dari segi akidahnya dibangun berdasarkan materi. Dalam pandangan Sosialisme, alam, manusia dan kehidupan berasal dari materi. Semua yang ada merupakan wujud materi. Perubahan dari satu bentuk benda kepada bentuk benda lain juga merupakan proses perubahan materi (materialisme dialectic). Semua yang ada hanya mencerminkan ujud materi. Inilah yang disebut Materialisme. Akidah Sosialisme dan Komunisme mengatakan, bahwa materi merupakan asal segala wujud dan tidak ada yang lain. Mereka menolak adanya Allah sebagai Sang Pencipta. Dengan begitu jelas mereka menolak agama. Sebaliknya mereka menciptakan "agama" baru dengan menyembah dan mengagung-agungkan benda. Meraka mengatakan, bahwa agama adalah candu yang akan merusak masyarakat.
Inilah yang menjadi keyakinan Marksisme, Leninisme, Titoisme dan sebagainya. Karena akidahnya menolak agama, sistem kehidupannya kemudian dibangun berasakan akal yang hampa dari ajaran agama. Dalam pandangan akal mereka, materi berubah dari satu betuk kepada bentuk yang lain adalah wujud perubahan materi, biasanya dikenal dengan sebutan materialisme dialektis. Sedangkan cara untuk mewujudkan perubahan tersebut adalah dengan menciptakan pertentangan antara satu materi dengan materi yang lain; atau menciptakan konflik antara satu pihak dengan pihak lain.
Dari uraian diatas, kesalahan Sosialisme dapat difahami, antara lain: Pertama, berdasarkan standar ketidaksesuaiannya dengan fitrah manusia, yang dapat disimpulkan, bahwa fitrah manusia memerlukan agama dan lemah itu telah dinafikan oleh Sosialisme. Alasannya karena agama telah dianggap sebagai candu bagi masyarakat. Dengan begitu, naluri beragama manusia telah dibunuh dan dikubur hidup-hidup. Ini jelas bertentangan dengan fitrah manusia.
Kedua, dilihat dari segi akidah Sosialisme yang tidak dibangun berdasarkan akal, sebaliknya berdasarkan materi. Ini artinya, bahwa materi dalam pandangan Sosialisme adalah azali. Tentu ini sangat bertentangan dengan akal, karena dzat yang azali seharusnya tidak memerlukan kepada yang lain dan tidak terbatas. Sebagai contoh, materi dianggap sebagai sumber kehidupan, sedangkan materi itu sendiri tidak dapat melahirkan dirinya sendiri. Disamping itu, materi mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Matahari, misalnya ketika terbit dari timur ke barat dan terus-menerus secara konsisten, tentu memerlukan garis orbit yang sekaligus merupakan sistem bagi terbit dan tenggelamnya matahari. Pertanyaannya adalah benarkah matahari mengikuti garis orbitnya tanpa ada yang mengatur? Tentu mustahil. Maka, benarkah matahari yang memerlukan garis orbit itu disebut tidak memerlukan apapun atau memerlukan siapapun? Tentu tidak masuk akal. Ini adalah salah satu contoh. Dengan demikian, Sosialisme telah gagal menjelaskan, bahwa materi bersifat azali. 

Perbandingan Mabda
            Jika diperhatikan secara teliti dan mendalam, di dunia ini hanya terdapat tiga mabda yaitu: Islam, kapitalisme dan sosialisme. Mabda kapitalisme sekarang menjadi kekuatan tunggal di dunia, dan dia diemban oleh kebanyakan negara Barat serta belahan dunia lain meskipun tidak sepenuhnya diterapkan. Sedangkan sosialisme dan Islam, tidak ada satu negara pun yang mengembannya, akan tetapi Islam masih eksis dalam diri individu-individu di dunia.
            Mabda Islam sangat berlainan dengan kedua mabda yang lainnya. Sedangkan sosialisme dan kapitalisme, meskipun memiliki perbedaan dari berbagai segi, akan tetapi masih memiliki kesamaan-kesamaan. Secara garis besar, perbandingan ketiga mabda tersebut akan diuraikan dalam bentuk bagan di bawah ini:

Unsur Mabda
Sosialisme
Kapitalisme
Islam
Aqidah
Materialisme atau evolusi materi (materi merupakan asal segala sesuatu, dan evolusi materi merupakan jalan terjadinya segala sesuatu)
Pemisahan agama dengan kehidupan (fashluddin ‘an al-hayah). Agama tidak boleh ikut campur di dalam kehidupan.
Laa Ilaaha illallah,  Muhammadur Rasulullah
Munculnya aturan kehidupan
Aturan diambil dari materi dan perubahan materi atau alat-alat produksi. Berubahnya alat-alat produksi akan mengubah aturan kehidupan.
Aturan harus dibuat oleh manusia (karena tidak ada pesan bagi Tuhan dalam kehidupan manusia)
Allah SWT yang membuat aturan, kemudian mengutus Rasulullah SAW untuk menyampaikannya kepada manusia.
Standar kehidupan
Materi dan evolusi materi
Manfaat (boleh tidaknya suatu hal bergantung pada manfaat yang dikandungnya)
Halal dan haram
Pandangan tentang masyarakat
Masyarakat adalah : kumpulan antara individu, tanah, alam, dan alat-alat produksi yang merupakan satu kesatuan.
Masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang saling berinteraksi.
Masyarakat adalah: kumpulan manusia yang memiliki pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama.
Penerapan aturan
Negara menerapkan aturan dengan kekuatan militer dan kekerasan undang-undang.
Negara berfungsi sebagai penjaga atau penjamin terhadap kebebasan individu dan aturan ditegakkan dalam rangka hal tersebut.
Setiap individu menerapkan hukum dengan dorongan takwa kepada Allah SWT dan daulah menerapkan hukum dengan keadilan.
Ukuran kebahagiaan
Tercapainya kenikmatan jasmani sebesar-besarnya.
Tercapainya kenikmatan jasmani sebesar-besarnya.
Ridwanullah (keridhoan Allah)

Mengembalikan Kejayaan Islam
            Melihat pada keadaan dunia sekarang ini, dimana mabda yang eksis dan berkuasa adalah mabda kapitalisme, ternyata membuat kaum muslimin seperti tidak berdaya menghadapinya. Seluruh roda kehidupan beserta kebijakan-kebijakan internasional berada di tangan Amerika sebagai penguasa tunggal, dan sebagai polisi dunia yang akan mengadili segala permasalahan dengan kacamata mabda mereka.  Dan hal ini telah semakin mempurukkan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia ke jurang kehinaan mereka yang seolah-olah sulit untuk diselamatkan. Sebagai sifat suatu mabda selalu ingin disebarkan dan ingin dianut oleh seluruh manusia, maka demikian pulalah kapitalisme, dengan metode bakunya-menjajah- Amerika akan memaksa ide-idenya supaya dianut oleh seluruh manusia di seluruh negara lewat demokrasinya,  HAM, teori pembangunan berjangka, pluralisme, dan banyak lagi sarana-sarana yang dipergunakannya. Dan mereka akan dengan segera bereaksi keras manakala mereka melihat tanda-tanda adanya kebangkitan Islam, sehingga keadaan kaum muslimin sekarang ini sungguh telah jauh dari kejayaan yang pernah diraihnya selama hampir tiga belas abad.
            Untuk kembali pada kemuliaan Islam seperti dahulu, maka yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin adalah mengembalikan tegaknya daulah Islam dengan menegakkan seluruh sistem pemerintahan dan perundangan dengan berlandaskan kepada mabda Islam. Hanya dengan cara itulah, kemuliaan Islam akan dapat kembali diraih oleh kaum muslimin.

IDEOLOGI ISLAM



Hakikat Ideologi
Secara harfiah, kata idelogi bukan berasal dari islam. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, idea dan logos. Idea berarti gagasan, sedangkan logos berarti pengetahuan. Dalam istilah politik, ideologi adalah sistem ide yang menyangkut filsafat, ekonomi, politik, kepercayaan sosial dan ide-ide. Atau dalam ungkapan yang lebih sederhana bisa didefinisikan dengan pemikiran yang mendasar, yang tidak dibangun berdasarkan pemikiran lain. Pemikiran mendasar seperti ini adalah pemikiran dasar (ushûl), bukan cabang (furû'), sekalipun kadang ada pemikiran cabang yang bisa menghasilkan pemikiran lain, seperti Patriotisme, Nasionalisme dan sebagainya. Pemikiran cabang seperti ini, memang bisa menghasilkan pemikiran lain, tetapi tidak otomatis akan menjadikannya sebagai ideologi, karena pemikiran tersebut bukan pemikiran dasar. Pemikiran ini hanya layak disebut kaidah (qâ'idah), bukan ideologi (mabda').
Adapun pemikiran ushûl, dalam pandangan ulama' usuludîn adalah akidah; pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan (Allah), dan apa yang ada setelahnya (Hari Kiamat), berikut semuanya hubungan dengan sebelum dan sesudah kehidupan (syariat dan hisâb/perhitungan amal). Karena pemikiran ushul ini merupakan asas kehidupan; jika manusia melihat pada dirinya, misalnya, dia akan menemukan, bahwa dia hidup di alam, maka selama dia tidak mempunyai pemikiran mengenai dirinya, kehidupan dan alam yang ada di sekelilingnya, dari aspek ada dan penciptaannya, maka dia tidak akan mampu memunculkan pemikiran yang layak untuk dijadikan asas kehidupannya.
Hanya saja tidak semua pemikiran akidah bisa menjadi ideologi, kecuali pemikiran akidah yang rasional; akidah yang lahir dari pembahasan rasional.  Jika akidah tersebut merupakan dogmatis atau doktriner, maka ia tidak akan pernah menjadi pemikiran, karena tidak mempunyai realitas, dan karena itu tidak disebut pemikiran yang menyeluruh, sekalipun disebut akidah. Contohnya, pemikiran mengenai eksistensi tiga oknum Tuhan, Bapak, Anak dan Roh Kudus, diyakini sama dengan satu, adalah pemikiran yang tidak bisa dibuktikan realitasnya. Sebab, secara logis satu berbeda dengan tiga, dan terbukti secara riil, satu adalah satu, dan tiga adalah tiga, dimana masing-masing adalah realitas yang berbeda. Maka, menyatakan ide trinitas sebagai ide ketuhanan yang maha esa, jelas bertentangan dengan realitas. Karena itu, akidah seperti ini hanya diterima sebagai dogma dan doktrin kebenaran, bukan sebagai hasil pembahasan rasional, yang terbukti realitasnya. Dengan demikian, akidah seperti ini tidak layak menjadi ideologi.
Selain definisi di atas, ideologi juga bisa didefinisikan dengan akidah rasional yang mampu memancarkan sistem. Maka, bisa disimpulkan bahwa Islam adalah ideologi, karena akidahnya merupakan akidah rasional yang mampu memancarkan sistem, yaitu akumulasi hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Masalah hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan juga sesamanya. Dengan demikian, Islam bukan hanya agama, tetapi juga ideologi. Berbeda dengan Kristen, Yahudi, maupun yang lain, atau Kapitalisme dan Sosialisme. Kristen dan Yahudi hanyalah agama; masing-masing hanya mengajarkan spiritualisme, tanpa sistem yang mampu menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. Sementara Kapitalisme dan Sosialisme adalah ideologi, bukan agama, karena tidak mampu menyelesaikan masalah spiritualitas manusia yang muncul dari naluri beragama mereka.
Maka, menyatakan ideologi sebagai ciptaan akal manusia, semata karena melihat Kapitalisme dan Sosialisme, kemudian digeneralisir untuk menyebut semua ideologi adalah produk akal jelas merupakan kesalahan logis. Ideologi memang pemikiran yang bersemayam pada benak manusia, tapi sumber pemikiran itu bisa dari kejeniusan akal, dan bisa pula dari wahyu Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Islam sebagai ideologi yang terbukti ketangguhannya sepanjang zaman, baik ketika diemban oleh negara maupun tidak, adalah ideologi yang bukan merupakan produk akal manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT.
Demikian juga menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi, karena masing-masing sama-sama merupakan agama yang mengajarkan spiritualitas juga jelas merupakan kesalahan analitis. Sebab, Kristen dan Yahudi tidak mempunyai konsepsi kehidupan, selain konsepsi keakhiratan, dan masing-masing agama ini tidak mempunyai sistem untuk menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan. Lebih-lebih kemudian menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi sebagai sumber konflik, karena itu Islam harus dijauhkan dari wilayah politik, dan dikembalikan pada relnya sebagai ajaran spiritual yang berfungsi mencerahkan jiwa, jelas merupakan kesalahan logika yang sangat fatal. Semuanya ini merupakan kesalahan berfikir yang sengaja ditanamkan oleh para pengemban ideologi Kapitalis dan Sosialis, alias orang-orang kafir imperialis, dengan tujuan licik agar umat Islam tidak bisa bangkit membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan mereka.

Realitas Akidah Islam sebagai Ideologi
Sebagai ideologi, akidah Islam adalah akidah rasional yang mampu memancarkan sistem. Rasionalitas akidah Islam ini, bisa dibuktikan dengan tidak adanya kontradiksi antara apa yang diyakini dengan realitasnya, dan bisa dibuktikan. Keyakinan mengenai adanya Allah sebagai pencipta alam, manusia dan kehidupan, misalnya, sesuai dengan realitas alam, manusia dan kehidupan itu sendiri yang terbatas. Dengan keterbatasannya, masing-masing membutuhkan kepada yang lain. Tentu, yang dibutuhkan adalah zat yang tidak terbatas, baik waktu, tempat maupun yang lain. Maka, yang dibutuhkan pasti zat yang azali (azaliyu al-wujûd), yang ada dengan sendirinya (wâjib al-wujûd) dan tidak didahului yang lain. Dia bukan makhluk (makhlûq), bukan pencipta dirinya sendirinya sendiri (khâliq li nafshi), tetapi azali (azaliyu al-wujûd). Dialah Allah SWT. zat yang Maha Esa, tidak beranak, dan tidak diperanakkan. Allah berfirman:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد(1)اللَّهُ الصَّمَد(2)لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ(3)وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌُ(4)
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya, segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS. Al-Ikhlash: 1-4)


Dia juga berfirman:

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Hadid: 3)

Sedangkan keyakinan mengenai al-Qur'an sebagai firman Allah, sesuai dengan realitas al-Qur'an yang merupakan kitab suci berbahasa Arab. Sebagai kitab suci yang berbahasa Arab, ada tiga kemungkinan bagi al-Qur'an: Pertama, al-Qur'an adalah kata-kata orang Arab (kalâm al-'Arab), dan kemungkinan ini jelas batil, karena terbukti sejak diturunkannya al-Qur'an hingga sekarang, atau sekitar 14 abad, tidak ada satu orang Arab pun yang bisa membuatnya, atau membuat satu surat sepertinya, padahal tantangan al-Qur'an kepada mereka sejak turunnya tetap berlanjut sepanjang masa. Kedua, al-Qur'an adalah sabda Muhammad saw. (kalâm Muhammad), dan kemungkinan ini juga batil, karena dua alasan: Pertama, Muhammad saw. adalah orang Arab, sehingga kepadanya berlaku tantangan terhadap bangsa Arab pada kemungkinan pertama tersebut, dan jika semua orang Arab terbukti tidak mampu, maka demikian juga dengan Muhammad saw. Sebab, beliau merupakan bagian dari orang Arab. Kedua, dari mulut Rasul telah keluar dua nash yang berbeda, yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah, sementara masing-masing mempunyai gaya bahasa yang berbeda. Jika keduanya keluar dari mulut yang sama, dan sabda atau kata orang yang sama, tentu keduanya pasti sama, dari sisi gaya bahasa dan ungkapannya. Ternyata, masing-masing sangat jauh perbedaannya. Maka, jelas al-Qur'an bukan merupakan sabda atau kata-kata Muhammad saw. Ketiga, al-Qur'an adalah firman Allah SWT. dan inilah realitas al-Qur'an, setelah dibuktikan dengan dua kemungkinan sebelumnya. Allah juga berfirman:

وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِّسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَـذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِينٌ
"Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya al-Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam (bahasa non-Arab), sedangkan al-Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang." (QS. An-Nahl: 103)

Adapun keyakinan mengenai Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah adalah keyakinan yang dibangun berdasarkan realitas, bahwa beliaulah yang menyampaikan al-Qur'an, yang merupakan firman Allah SWT. Sementara tidak seorang manusiapun yang diberi tugas untuk menyampaikan kitab suci yang diturunkan Allah SWT, kecuali dia adalah seorang nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Allah SWT. berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepda umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (QS. An-Nahl: 44)

Keyakinan terhadap perkara di atas terbukti tidak bertentangan dengan realitas yang ada; ketiganya juga bisa dijangkau indra manusia. Sementara keyakinan terhadap malaikat, kitab-kitab terdahulu, rasul-rasul lain selain Muhammad saw. dan Hari Kiamat, adalah keyakinan yang juga tidak bertentangan dengan realitas yang diyakini. Karena keempat realitas tersebut dinyatakan keberadaannya oleh nash yang qath'i dan pasti benar, baik al-Qur'an dan as-Sunnah. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT. dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا
 "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS. An-Nisa: 136)

Ini jelas berbeda dengan kepercayaan pada hantu, misalnya, yang sama sekali tidak terbukti realitasnya, baik secara indrawi maupun penukilan yang dinyatakan oleh nash yang qath'i.
Adapun keyakinan terhadap qadhâ' dan qadar, sebagaimana yang dibahas oleh Mutakallimin, sebagai perbuatan yang memaksa manusia, baik yang berasal darinya maupun yang menimpa dirinya, serta khasiyyât benda diciptakan Allah; dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, baik perbuatan maupun benda.
Semuanya ini membuktikan rasionalitas akidah Islam sebagai keyakinan yang bulat, tidak bertentangan dengan realitas dan bersumber dari dalil. Dengan keyakinan yang rasional mengenai adanya Allah sebagai pencita alam, manusia dan kehidupan, serta keyakinan yang rasional mengenai al-Qur'an sebagai syariat yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad agar disampaikan kepada seluruh umat manusia,  sebagai standar akuntabilitas di hadapan Allah, serta Muhammad sebagai Rasul, sang pembawa dan penjelas syariat, dan Hari Kiamat yang menjadi hari pembalasan dan perhitungan (hisâb), maka gambaran tersebut akan mempengaruhi tingkah lakunya dalam kehidupan, yang akan menempatkannya pada jalur yang benar dan konsisten.  Pada saat itulah, visi dan misi hidupnya sebagai pengemban risalah yang agung dan mulia di muka bumi akan terwujud. Kemudian, sistem yang terpancar dari risalah tersebut akan ditegakkan di muka bumi dengan dorongan keyakinan yang bulat serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT. Inilah hakikat akidah rasional Islam, yang memancarkan sistem dalam kehidupan.
Dengan demikian, akidah Islam merupakan akidah yang dibangun berdasarkan akal.  Sebab, setiap muslim dituntut agar mengimani semua perkara yang diyakininya dengan akal, baik secara langsung dengan akal maupun secara tidak langsung bila memang tidak bisa dijangkau oleh akal; yaitu dengan memahami realitas yang dinyatakan oleh dalil-dalil dari nash  qath’I  (Al Quran dan As Sunnah) yang telah dibuktikan kebenarannya dengan akal.  Disamping itu akidah Islam juga sesuai dengan fitrah manusia.  Sebab, akidah Islam mengakui kebutuhan manusia kepada Allah Sang Pencipta, bukan hanya untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, tapi juga hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri.  

Lahirnya Sistem Islam dari Akidah Islam

Sebagai akidah rasional yang memancarkan sistem, ideologi Islam mempunyai proses yang berbeda dengan Kapitalisme maupun Sosialisme.  Jika realitas kehidupan dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Kapitalisme untuk melahirkan sistemnya, sementara faktor produksi dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi Sosialisme untuk melahirkan sistemnya, maka Islam berbeda dengan keduanya.  Sistem Islam lahir dari sumber yang tetap, yaitu nash-nash syara’ yang tetap, Al Quran dan As Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai sumber sistem yang layak, yakni Ijma’ Sahabat Rasulullah saw. dan Qiyas; dengan cara memahami nash-nash tersebut, memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan, dan mengkompatibelkan realitas dengan nash.  Jika realitas itu kompatibel dengan nash, berarti hukum yang terdapat dalam nash tersebut merupakan hukum atas realitas itu.  Dan demikian sebaliknya.  Dengan mekanisme ini, sistem Islam tidak akan mengalami perubahan sepanjang waktu dan tempat.  Pada waktu yang sama, di setiap waktu dan tempat akan lahir para ahli hukum Islam (fuqaha/mujathid) yang akan mampu menggali hukum (ijtihad) dari nash-nash tersebut untuk menyelesaikan berbagai persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. 
Adapun sistem yang lahir dari akidah Islam adalah sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya sendiri. Sistem tersebut meliputi dua aspek: Pertama,  penyelesaian masalah (mu'âlajah li masyâkil al-insân), yang meliputi: 'ibadâh, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan jihad; mu'âmalah seperti sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; serta akhlâq. Kedua, metode (tharîqah), baik untuk menerapkan Islam, seperti Khilafah Islam, atau menjaga Islam, seperti sanksi hukum ('uqûbât) yang dterapkan oleh Khilafah Islam, ataupun menyebarluaskan Islam, seperti dakwah dan jihad yang diemban oleh Khilafah Islam.
Maka, dengan adanya Khilafah Islam, seluruh penyelesaian masalah yang lahir dari akidah Islam tersebut bisa diterapkan dan dijaga, sehingga tidak ada satupun hukum Islam yang diabaikan, atau bahkan ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Ghazâli menyatakan:

"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah penjaga; Apa saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa saja yang (ada) tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."

Khilafah Islam akan mengadopsi hukum Islam untuk menjadi UUD dan perundang-undangan negara. Dengan cara itulah, hukum-hukum Islam tersebut bisa diterapkan. Ini didukung dengan ketakwaan rakyat, dan kontrol masyarakat yang tinggi terhadap setiap bentuk penyimpangan atau penyelewengan dari hukum tersebut.
Sementara untuk menjaga Islam, sistem sanksi (nizhâm al-'uqûbat) yang dilaksanakan oleh khalifah sebagai bagian dari hukum Islam, benar-benar terbukti mampu menjaga keutuhan ajaran Islam. Mengingat sanksi ini berfungsi sebaga zawâjir (preventif) dan jawâbir (kuratif); preventif bagi orang lain, supaya tidak melakukan kesalahan yang sama, sebagamana firman Allah:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاْ أُولِيْ الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Dan dalam qishaas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 179)

Dan kuratif bagi orang-orang yang dijatuhi sanksi, sehingga di akhirat tidak akan dijatuhi lagi hukuman oleh Allah, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan:

"Dan siapa saja yang melakukan sesuatu dari perbuatan (dosa) itu, kemudian dikenakan sanksi di dunia, maka itu merupakan tebusan baginya (di akhirat)." (HR. Bukhâri)

Maka, dengan diterapkannya sanksi tersebut, bukan hanya Islam saja yang terjaga, tetapi juga kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharûriyyah) ummat manusiapun akan terjaga, baik berkaitan dengan agama, keturunan, akal, jiwa, harta, kehormatan, keamanan maupun negara.
Sementara untuk menyebarluaskan Islam, Khilafah Islam akan melakukan dakwah secara praktis (dalam istilah orang Indonesia dakwah bil hal) di tengah masyarakat, baik muslim maupun non-muslim, dengan menerapkan Islam secara utuh. Dengan begitu cahaya Islam akan bersinar kembali, dan orang-orang non-muslim akan masuk Islam secara berbondong-bondong. Sementara keluar, Khilafah Islam akan melakukan propaganda tentang Islam, dengan berbagai sarana yang memungkinkan, serta melaksanakan jihad sebagai langkah terakhir untuk menghancurkan tembok penghalang, yang menghalangi sampainya Islam kepada seluruh umat manusia. Firman Allah SWT.:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah." (QS. al-Baqarah: 193)
Dengan pemahaman Islam yang utuh seperti inilah para sahabat Rasulullah saw. berhasil melanjutkan dakwah dan kehidupan Islam yang dibangun Rasulullah saw. sehingga Islam di masa mereka tersebar luas dan berdaulat sampai ke hampir 2/3 belahan dunia.  Panji-panji tauhid pun berkibar, hukum-hukum Allah yang sempurna ditegakkan, keadilan dan kesejahteraan ditebarkan.  Kalau hari ini umat ini ingin  mengulangi sukses Rasul dan para sahabatnya serta para pelanjut kejayaan Islam berikutnya, pertama kali yang harus ditempuh adalah melakukan rekonstruksi pemikiran mereka tentang Islam yang utuh, yakni menanamkan kembali pemahaman Islam sebagai mabda atau ideologi.  Tidak ada jalan lain.