Untuk memahami
lebih jelas siapa manusia itu, maka esensi manusia harus dikaji sebagai objek
yang menyeluruh dan mendalam.Caranya dengan memahami potensi kehidupan yang
mempengaruhi hidupnya. Pemahaman mengenai potensi kehidupan inilah yang akan
menentukan pemahaman selanjutnya tentang apa dan bagimana manusia seharusnya
melakukan akivitasnya. Pemahaman mengenai pembahasan ini akan sangat
mempengaruhi pandangan setiap muslim dalam menyelesaikan problem yang
dihadapinya.
Jika manusia
adalah makhluk hidup yang diberi anugrah pemikiran, ini merupakan kenyataan.
Karena memang dalam diri manusia terdapat khashiyyat
yang sama dengan makhluk hidup yang lain.
Khasiyyat yang dimaksud disini disini adalah keistimewaan manusia.
Keistimewaan ini merupakan potensi yang secara spesifik diberikan oleh Allah
SWT kepada benda, sehingga benda tersebut dapat memberikan sesuatu atau dapat
dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu. Misalnya pertumbuhan dan perkembangan,
kelelahan dan mengantuk yang merupakan pengaruh kebutuhan jasmani; berkembang
biak, merasakan kasih sayang, perasaan kebapakan dan keibuan yang merupakan
pengaruh pengaruh naluri seksual; mempertahankan diri, menyukai sesuatu, ingin
berkuasa, ingin memiliki materi,marah, senang dan bangga yang merupakan
pengaruh naluri seksual;mempertahankan diri, menyukai sesuatu, ingin berkuasa,
ingin memiliki materi, marah, senang dan bangga yang merupakan pengaruh naluri
mempertahankan diri; merasa lemah dan membutuhkan Zat yang agung, takut dan
perasan tenang karena melakukan ketaatan yang merupakan pengaruh naluri
beragama.dorongan-dorongan tersebut harus dipenuhi oleh manusia untuk melakukan
perbuatan dalam rangka memenuhi dorongan-dorongan tadi.
Tetapi meskipun dorongan dari dalam dirinya kuat, yang
menentukan apakah dorongan tersebut dipenuhi atau tidak, tetap tergantung pada mafhum (pemahaman) masing-masig orang
terhadap dorongan tadi. Disinilah manusia berbeda dengan hewan. Hewan mempunyai
naluri dan kebutuhan jasmani. Tetapi tidak mempunyai akal.karena itu tidak
mempunyai mafhum. Karena tidak
memiliki akal dan mafhum dalam
memenuhi dorongan naluri dan kebuthuan jasmaninya, hewan menggunakan tamyiz gharizi, dimana tamyiz gharizi
tersebut merupakan kemampuan identifikasi yang mampu membedakan antara satu
dengan yang lain. Potensi naluriah yang ada pada hewan ini terbentuk karena
adanya penginderaan secara berulang kali terhadap objek tertentu. Misalnya
ketika hewan makan, mengapa makan rumput? Hewan misalnya tidak pernah
mendapatkan pendidikan seks, karena pendidikan hanya dapat diberikan kepada
manusia. Tetapi hewan dapat melakukan hubungan seksual dengan hewan betina yang
sejenis,misalnya anjing dengan anjing. Hewan juga hanya akan memasukan penisnya
dalam vagina hewan yang betina,bukan
ketempat yang lain.Ini semuanya merupakan tamyiz
gharizi. Karena cara tersebut tidak pernah berubah. Berbeda dengan manusia.
Manusia dapat merubah cara dalam melakukan hubungan seksual, kadangkala dengan
cara sodomi, oral seks, dan
sebagainya. Justru semuanya dapat dilakukan oleh manusia karena manusia
mempunyai akal.
Jika demikian apakah potensi manusia
dan hewan itu sama? Jawabannya tentu harus teliti terlebih dahulu; jika yang
dipermasalahkan adalah potensi kehidupan manusia itu sesungguhnya sama dengan
hewan. Yang dimaksud dengan “potensi kehidupan” disini adalah ciri-ciri khusus yang diberikan oleh Sang
Pencipta yang menyebabkan setiap makhluk tetap mampu bertahan hidup.
Jika diteliti secara mendalam, potensi kehidupan ini hanya ada dua, yaitu :
1) Kebutuhan jasmani (al-hajat al-udhuwiyyah)
2) Naluri (al-gharizah)
Adapun akal
tidak termasuk kedalam kategori potensi kehidupan manusia. Karena manusia masih
bisa hidup meskipun akalnya hilang. Seperti orang gila atau anak kecil yang
akalnya belum sempurna Tetapi akal tetap penting karena akalah yang bisa
membedakan kedudukan manusia dibanding makhluk yang lainnya.
Tubuh manusia yang dapat diindera sebenarnya terdiri atas
berbagai sel dengan bentuk, warna dan tugas yang berbeda. Jumlahnya lebih dari
200 milyar sel. Setiap sel terdiri dari membran (dinding sel) dan nucleus (inti sel), yang
dikelilingi sitoplasma. Plasma ini mngelilingi inti sel yang terdiri dari
beberapa kromosom. Jumlahnya 46 kromosom, tidak lebih dan tidak kurang.semuanya
terdapat dalam sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan.
Mengenai struktur tubuh manusia tidak ada bedanya antara
orang yang satu dengan orang yang lain, jika dilihat dari struktur organ dan
fungsinya, apapun warna, bentuk dan penampilannya. Masing-masing mempunyai
mata, ati empedu serta anggota tubuh yang lain, setiap anggota tubuhnya terdiri
atas sel-sel yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga manusia perlu makan,
bernafas, bergerak, tidur dan istirahat. Kenyataan bahwa tubuh manusia memerlukan
benda tertentu adalah khasiyyat yang
diberikan oleh Allah kepada manusia. Inilah yang disebut kebutuhan jasmani (al-hazah al-udhuwiyah). Kebutuhuan
jasmani ini memerlukan pemenuhan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, manusia
perlu kondisi, benda dan aktifitas tertentu. Kondisi yang diperlukan oleh tubuh
manusia antara lain seperti tidur, istirahat dan suhu udara tertentu,
sedangakan benda yang diperlukan antara lain seperti makanan, minuman dan udara
(oksigen), sedangkan aktivitas yang dilakukan antara lain seperti makan,
bernafas, buang hajat dan sebagainya. Inilah kebutuhan jasmani manusia.
Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang lahir karena pengaruh kerja struktur organ
tubuh manusia. Makanan adalah benda
yang diperlukan oleh tubuh untuk menghasilkan energi, karena zat tertentu yang
terdapat dalam makanan tersebut memang sesuai untuk kebutuhan tubuh. Jika zat
yang dibutuhkan oleh tubuh tersebut tidak terpenuhi, maka tubuh manusia akan
mengalami gangguan atau kerusakan. Dari sinilah biasanya penyakit datang,
Inilah gambaran mengenai kebutuhan jasmani.
Disamping itu
ada fenomena lain yang timbul dari dalam diri manusia, yang juga menuntut
dipenuhi.Bedanya kenyataan ini lahir bukan dari pengaruh kerja organ tubuh
manusia, melainkan dari luar tubuh diri manuisa. Ketakutan, ambisi kekuasaan,
cinta tanah air, cinta kepada suku atau ingin menguasai suku yang lain adalah
fenomena yang muncul dari diri manusia. Ketertarikan pada lawan jenis, rasa
keibuan, mencintai anak, mengasihi orang lain dan perasaan iba pada orang yang
membutuhkan bantuan juga merupakan fenomena yang muncul dari diri manusia. Rasa
kagum pada orang lain, perasaan kurang, lemah, membutuhkan kepada orang alim,
menghormati orang lain dan sebagainya juga merupakan fenomena yang muncul dari
dalam diri manusia.
Semuanya ini
mendorong manusia untuk melakukan aktivitas tertentu agar dapat dipenuhi. Namun
dorongan tersebut berbeda dengan dorongan yang lahir dari kebutuhan jasmani.
Dorongan dari kebutuhan jasmani timbul karena akibat dari pengaruh kerja organ
tubuh manusia, sedangkan fenomena yang kedua timbul karena pengaruh eksternal.
Sebagai contoh, seseorang makan karena lapar, maka makan dipenuhi karena
memenuhi kebutuhan jasmani. Namun apabila orang tersebut makan sementara
perutnya kenyang, berarti aktivitas makan yang dilakukannya bukan karena
memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi karena naluri.bukan karena dorongan lapar
namun karena dorongan ingin tahu; misalnya ingin mengetahui rasanya, atau
karena dorongan yang lain. Jenis makan yang kedua ini karena memenuhi naluri.
Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Dalam konteks inilah,
Allah SWT berfirman melalui lisan Nabi Musa:
قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ
شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى
"Tuhan kami
(yaitu) Tuhan Yang telah menganugrahkan pada tiap-tiap sesuatu dengan bentuk
kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS.
Thaha: 50)
Artinya, bahwa Allah SWT
telah menciptakan khashiyyat,
kemudian Allah memberikan petunjuk kepada manusia atau hewan agar menggunakan khasiyyatnya untuk melakukan aktivitas
dalam ragka memenuhi kebutuhan jasmani dan naluri. Sebagian ulama menafsirkan
ayat tersebut dengan menyatakan, bahwa Allah SWT telah menciptakan hewan betina
untuk hewan jantan dan dari jenisnya supaya dapat melakukan perkawinan,
termasuk bagaimana cara melakukannya. Dalam ayat lain Allah SWT secara umum
menjelaskan hal yang sama, mengenai khasiyyat yang diberikan oleh Allah SWT,
baik berupa kebutuhan jasmani maupun naluri.
الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى(2)وَالَّذِي
قَدَّرَ فَهَدَى(3)
“Zat yang
Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya) dan yang Menentukan kadar (keistimewaan
masing-masing ) dan Memberikan petunjuk.”(QS.
Al-A’laa: 2-3)
Potensi Hidup Manusia Yang Pertama: Kebutuhan Jasmani
Kebutuhan
jasmani manusia merupakan kebutuhan mendasar (basics needs) yang timbul akibat kerja struktur tubuh manusia. Jika
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, struktur organ tubuhnya akan mengalami
gangguan dan bisa mengakibatkan kerusakan. Sebagai contoh apabila tubuh manusia
kekurangan air, maka kerja organ tubuhnya akan mengalami gangguan yang kemudian
akan menyebabkan penyakit. Penyakit ginjal adalah contoh penyakit yang terjadi
akibat tubuh manusia kekurangan air.
Kadang-kadang kebutuhan jasmani tersebut berkaitan dengan
peredaran zat yang ada dalam tubuh. Karbon dioksida misalnya ketika tidak bisa
dikeluarkan dalam bentuk kentut, akan menyebabkan perut mual dan sakit terus
menerus, atau sisa zat makanan tidak bisa dikeluarkan dalam bentuk kotoran
besar, juga akan mengalami sakit dan mual. Juga ketika manusia berada dalam
keadaaan kekurangan oksigen, maka akan mengalami sesak nafas, dan mungkin akan
mengakibatkan kematian. Inilah bentuk kebutuhan jasmani. Jadi, kebutuhan
jasmani ini merupakan kebutuhan organ tubuh yang berkaitan dengan kadar
tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT pada manusia atau hewan. Jika
kadarnya kurang atau melampaui batas, maka tubuh manusia akan mengalami
gangguan. Dalam hal ini Allah SWT telah memberikan isyarat:
وَمِنْ
آيَاتِهِ مَنَامُكُم بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Dan diantara Tanda-tanda Nya, (Dia ciptakan) tempat untuk idur
kamu diwaktu malam dan siang.” (QS. Ar-Ruum:
23)
مَا هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يَأْكُلُ مِمَّا
تَأْكُلُونَ مِنْهُ وَيَشْرَبُ مِمَّا تَشْرَبُونَ
“Ini adalah manusia
biasa, yang masih memerlukan makan, sama dengan yang apa kamu makan, dan minum
sama dengan apa yang kamu minum.” (QS.
Al-Muminun: 33)
Kebutuhan
jasmani ini wajib dipenuhi, sebab jika tidak dipenuhi akan menimbulkan
kerusakan dan kematian. Dengan demikian, kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan
dasar (al-hajat al-asasiyyah) manusia yang wajib dipenuhi. Karena itu,
sesuatu yang asalnya harampun dihalalkan oleh Allah SWT untuk orang-orang yang
membutuhkannya, karena ketika kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi akan
mengakibatkannya binasa. Allah SWT berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ
لِّإِثْمٍ
“Maka, siapa saja yang dalam keadaan terpaksa, tanpa unsur
kesengajaan dan unsur membangkang, maka
tiada dosa baginya.” (QS. Al-Maidah: 3)
Ayat diatas dinyatakan
oleh Allah SWT dalam konteks keharaman bangkai, darah, daging babi dan
sebagainya. Benda-benda tersebut kemudian diperbolehkan oleh Allah SWT untuk
orang-orang dalam kondisi terpaksa, semata-mata untuk mempertahankan hidupnya.
Karena jika tidak memakannya, dia akan mengalami kematian. Nabi SAW.juga tidak
menjatuhkan sanksi hukum kepada orang yang mencuri pada masa kelaparan
(krisis), dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya:
“Tiada hukuman potong tangan (kepada pencuri ketika mencuri)
pada masa kelaparan yang luar biasa.” (HR. Makhul)
Karena itu, Umar bin
Khattab tidak menjatuhkan hukuman kepada seorang pencuri ketika mencuri pada
saat krisis, yang dilakukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa memenuhi
kebutuhan jasmani ini wajib dilakukan. Jika tidak dipenuhi, pasti akan
menyebabkan kehancuran dan kebinasaan. Atau jika tidak dipenuhi dengan kadar
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, maka akan menyebabkan hal yang sama, yaitu
kerusakan. Karena itu manusia wajib berusaha memenuhi kebutuhan jasmaninya,
agar tidak ditimpa kerusakan. Meskipun hukum asal usaha untuk memenuhinya
adalah mubah, namun jika telah sampai pada batas yang bisa menimbulkan
kemudharatan ketika tidak dipenuhi, maka hukum untuk memenuhinya menjadi wajib.
Makan, contohnya adalah aktivitas mubah yang menjadi wajib dilakukan ketika
menyebabkan kerusakan. Demikian halnya dengan kewajiban bekerja, bisa
dikembalikan mengikuti kadar terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
seseorang. Jika kebutuhan dasarnya belum terpenuhi, maka bekerja untuk memenuhi
kebutuhan dasar tersebut hukumya wajib. Berbeda ketika kebutuhan dasarnya telah
terpenuhi, maka hukum bekerja untuk memenuhi kebutuhan seperti ini statusnya adalah
mubah.
Disamping itu, kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang
lahir dari dalam tubuh manusia yang tidak ada kaitannya dengan faktor
eksternal. Rasa lapar, contohnya, jika telah terpenuhi sampai batas kenyang,
maka meskipun ada makan yang lezat dan nikmat sekalipun tetap tidak akan mampu
membangkitkan selera makan seseorang sampai perutnya lapar kembali. Jika muncul
juga keinginan untuk makan makanan lezat, hakikatnya bukan karena lapar, melainkan karena dorongan
naluri ingin tahu, ingin mencoba dan sebagainya, sehingga makanan terebut
akhirnya dimakan juga. Inilah gambaran secara umum mengenai kebutuhan jasmani
manusia.
Potensi Hidup Manusia Yang Kedua: Naluri
Naluri manusia adalah khasiyyat
yang merupakan fitrah penciptaannya supaya manusia bisa mempertahankan
eksistensi, keturunan dan mencari petunjuk mengenai keberadaan Sang Pencipta.
Naluri ini memang tidak bisa langsung diindera oleh manusia, namun dapat
dijangkau oleh akalnya melalui tanda-tanda atau fenomena yang terlihat darinya.
Allah SWT telah
mengemukakan keberadaan naluri tersebut melalui beberapa fenomena yang
dinyatakan dalam beberapa ayat al-Qur’an antara lain:
وَأَوْحَى
رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا
يَعْرِشُونَ
“Dan Tuhanmu telah
mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin oleh manusia.” (QS. An-Nahl: 68)
Artinya Allah SWT telah
memberikan khasiyyat pada lebah
sehingga memungkinkannya untuk membuat sarang di gunung, pohon atau apa saja
yang dibuat oleh manusia. Ayat ini menjelaskan, bahwa hewan diberi keunikan
untuk membuat rumah atau tempat tinggal agar dapat melindungi diri dari
serangan makhluk lain. Ini merupakan fenomena mengenai adanya naluri mempertahankan
diri (gharizah al-baqa’).
Allah SWT juga telah menerangkan fenomena lain mengenai
keberadaan naluri dalam beberapa ayat, antara lain:
وَإِذِ
ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ
إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah)
ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan, lalu Ibrahim menunaikannya, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan
menjadikan kamu imam dari seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(dan saya mohon
juga) dari keturunan saya.’Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak akan mengenai
orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah : 124)
Kecintaan Ibrahim kepada keturunannya
merupakan fenomena yang membuktikan adanya naluri seksual (gharizah al-na'u). Nabi Ibrahim memohon kepada Allah SWT agar
menjadikan keturunannya sebagai imam sama dengan dirinya. Ini merupakan
fenomena mengenai keberadaan naluri yang teah ditetapkan oleh Allah SWT kepada
manusia. Dalam hal ini Allah SWT kemudian menafikan:
“Allah berfirman: ‘janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang
yang zalim.”
Yang menjelaskan, bahwa imamah
tersebut hanya akan diberikan kepada keturunannya yang soleh saja, dimana janji
tersebut tidak akan diberikan kepada keturunannya yang zalim.
Demikian juga ketika Allah SWT berfirman yang
menceritakan kisah Yusuf dengan seorang permaisuri raja:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا
لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ
“Sesunguhnya wanita itu telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf dan Yusuf juga bermaksud (melakukan
perbuatan yang sama) dengan wanita itu, seandainya dia tidak melihat tanda-tanda
(dari) Tuhannya.” (QS.Yusuf: 24)
Dorongan syahwat kepada
lawan jenis itu merupakan fenomena yang membuktikan adanya gharizah an-na'u nya dengan Nabi Yusuf as.namun nabi Yususf tidak
melakukannya karena Allah SWT telah mencegahnya. Contoh lain sebagaimana yang
dikemukakan dalam al-Qur’an:
وَإِذَا مَسَّ الْإِنسَانَ ضُرٌّ دَعَا
رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ
“Dan jika manusia ditimpa kesusahan, dia
memohon kepada Tuhannya dengan kembali kepadaNya.”
(QS.
Az-Zumar: 8)
“Kembali kepada Tuhannya”
serta meluapkan keluhannya kepada-Nya karena ditimpa musibah adalah fenomena
mengenai keberadaan naluri beragama (gharizah
at- tadayyun).Ayat ini menjelaskan yaitu berdoa dan memohon kepada Allah
SWT ketika ditimpa kesengsaraan, namun ketika kesengsaraan tersebut hilang,
Allah pun dilupakannya begitu saja.
Dari uraian diatas, bisa disimpulkan bahwa naluri manusia
ada tiga macam:
1) Naluri
mempertahankan diri (gharizah al-baqa)
2) Naluri seksual (gharizah an-na'u)
3) Naluri beragama (gharizah at-tadayyun).
Namun sebagian besar ahli psikologi menganggap fenomena yang dilahirkan
oleh naluri tersebut sebagai naluri. Contohnya, meraka biasa menyebut naluri
keibuan, naluri kebapakan, naluri ketakutan dan sebagainya. Sebenarnya semua
yang mereka sebut tadi adalah fenomena sebuah naluri, dan bukan naluri itu sendiri.
Namun, perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara naluri
dengan kebutuhan jasmani. Jika kebutuhan jasmani muncul karena
adanya unsur internal akibat kerja organ tubuh manusia, maka naluri timbul
karena faktor eksternal. Faktor internal itu sendiri tidak lain adalah
pemikiran dan realitas. Karena itu ketiga naluri tersebut timbul akibat adanya
dua faktor eksternal yaitu: (1) realitas, dan (2) pemikiran. Contohnya adalah
kasus nabi Yusuf diatas. Nabi Yusuf atau permaisuri raja saling tertarik satu
sama lain karena adanya realitas. Bagi Nabi Yusuf, wanita tersebut adalah
realitas yang dapat mempengaruhi gharizah
an-na'u nya. Begitu juga
bagi permaisuri raja tadi, Nabi Yusuf adalah realitas yang dapat mempengaruhi gharizah an-na'u nya, sehingga masing-masing saling tertarik antara satu
dengan yang lain.
Orang yang bekerja di super market gharizah al-baqa nya akan terdorong begitu melihat banyak realitas,
seperti beragam barang, baik pakaian sepatu atau yang lain. Semua barang
tersebut merupakan realitas yang dapat mendorong gharizah al-baqa orang tadi, sehingga dia terdorong untuk membeli
barang. Bahkan orang tersebut bahkan kebingungan untuk memilih karena semua
barang yang ada telah mendorong gharizah al-baqa nya dan kalau bisa
semuanya ingin dibeli.
Orang yang ta’ziyyah kepada orang yang meninggal dunia
akan teringat mati, dan timbul rasa takut mati pada dirinya. Sementara dia
merasa belum siap karena merasa masih banyak dosa. Perasaan seperti ini juga
lahir dari orang yang melihat realitas, yaitu jenazah yang dimandikan,
dikafani, dishalati kemudian dikubur, lalu jenazahnya ditinggal sendiri didalam
kubur. Orang yang menyaksikan dapat membayangkan bagaimana jika dia kelak mati
seperti jenazah tersebut.inilah pengaruh realitas terhadap naluri manusia. Disamping
realitas pemikiran juga tidak kalah kuat pengaruhnya terhadap naluri. Jika
seorang laki-laki membayangkan seorang wanita, maka dorongan syahwatnya akan
timbul, meskipun ketika membayangkan realitas wanita yang dibayangkan tidak ada
didepannya. Seorang yang membayangkan betapa enaknya mempunyai rumah indah,
kendaraan pribadi serta kebutuhan yang serba cukup, pasti akan mendorong
keinginannya untuk mempunyai semua barang tersebut. Begitu juga ketika
seseorang membaca al-Qur’an, kemudian merenungkan isinya, antara lain tentang
kenikmatan surga, lalu timbul kerinduannya untuk meraihnya. Semua contoh tadi
merupakan pengaruh pemikiran.
Kedua aspek internal inilah yang mempengaruhi lahirnya
naluri manusia. Karena timbulnya naluri tersebut bukan dari dalam diri manusia,
tetapi dari kedua aspek eksternal tadi, maka ketika dorongannya timbul,
dorongan tersebut tidak harus dipenuhi, seseorng tidak akan mengalami kerusakan
atau bahkan sampai mengalami kematian. Tidak, naluri tidak akan mengakibatkan
akibat-akibat seperti ini, meskipun demikian naluri tidak dapat dibunuh atau
dihancurkan. Yang memungkinkan hanyalah dialihkan pada yang lain, atau ditekan.
Contoh kecintaan pada isteri dapat dialihkan pada
kecintaan kepada ibu. Kerindua pada isteri bagi seorang suami yang jauh
meninggalkan isterinya dapat dialihkan pada naluri yang lain. Caranya dengan
menjauhi realitas yang bisa membangkitkan nalurinya, misalnya tidak
berinteraksi dengan wanita, tidak melihat foto istrinya atau anak-anaknya,
ataupun tidak menyibukkan pikirannya dengan keluarganya. Kemudian pikirannya
dipenuhi dengan hal-hal lain, antara lain dengan Zat al-Wakil (Zat Yang Maha
Mewakili) yang mampu mewakili urusannya, yang menjadi tempatnya berserah untuk
menyerahkan seluruh urusan keluarganya.
Meskipun demikian, tidak berarti bahwa naluri tersebut
dapat dilumpuhkan secara total. Sebab naluri merupakan bagian dari fitrah
manusia, sementara feneomena yang nampak dari keberadaan naluri tersebut
bukanlah bagian dari fitrah manusia. Karena itu, mengalihkan naluri tidak akan
menyebabkan berubahnya fitrah manusia. Bahkan sedikit pun tidak akan
mempengaruhi eksistensi fitrahnya.
Contoh
mengenai pengalihan pemenuhan naluri tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh
Nabi SAW, ketika memerintahkan pemuda yang mempunyai keinginan kuat untuk
menikah agar berpuasa, dalam kondisi dimana dia belum mampu membina rumah
tangga. Sabda Nabi SAW:
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kamu yang mampu berumah tangga,
menikahlah. Sebab, menikah itu dapat menundukkan pandangan dan membentengi
kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu maka hendaknya berpuasa, sebab
puasa itu dapat menjadi benteng (bagi seseorang).”
(HR. Bukhari)
Puasa yang
diperintahkan oleh Nabi SAW. Dalam kasus tersebut adalah agar orang mempunyai
untuk menikah, karena dorongan gharizah
an-na'u nya, dapat mengalihkan dorongan gharizah
an-na'u nya pada dorongan gharizah
at-tadayyun (naluri beragama). Karena puasa merupakan ibadah dan tiap
ibadah mempunyai tujuan yang ngin dicapai, yaitu meningkatkan kekuatan ruhiyyah
seseorang. Dengan kekuatan spiritualnya, gharizah
an-na'u seseorang dapat dikendalikan sehingga bisa ditekan.
Akal Dan Pikiran
Hewan
mempunyai kebutuhan jasmani dan naluri, manusia juga demikian. Bedanya manusia
diberi akal, sedangkan hewan tidak. Mengenai bukti-bukti bahwa manusia
mempunyai akal, sedangkan hewan tidak nampak dari perbedaan yang terdapat pada
kehidupan masing-masing. Kehidupan manusia selalu dipenuhi dengan perubahan dan
karena itu kehidupannya dinamis, sedangkan hewan tidak. Kehidupan hewan
bersifat statis, tidak mengalami perubahan. Dari waktu ke waktu hidupnya tetap
sama. Itulah perbedaan yang nampak pada hewan dengan manusia secara nyata.
Al-Qur’an menggambarkan dengan jelas fenomena akal pada
manusia dengan jelas:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ
كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ
بِهَا
وَلَهُمْ
آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ
“Kami telah menjadikan untuk isi neraka
jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak
digunakan untuk berpikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk
melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar.
Mereka seperti hewan, bahkan lebih hina lagi.” (QS.
Al A’raaf : 179)
Ayat ini
menjelaskan adanya persamaan antara manusia dan jin dengan hewan; ketika
manusia dan jin sama-sama diberi akal, pendengaran dan penglihatan, namun tidak
digunakan untuk berpikir, mendengar dan melihat realitas, maka mereka sama
dengan hewan. Pada dasarnya mereka tidak sama, tetapi ketika keistimewaan
manusia dan jin tersebut tidak digunakan, maka mereka sama dengan hewan. Jika
Allah swt menyamakan manusia dengan hewan, ketika manusia tidak berpikir,
berarti hewan memang tidak mempunyai akal. Dengan demikian manusia diberi
keistimewaan akal oleh Allah, sedangkan hewan tidak.
Meskipun secara empiris dan normatif dalam pandangan
Islam sudah jelas, bahwa manusia mempunyai akal, tetapi sejak zaman dulu banyak
ulama Islam maupun non-Islam tidak mampu menjelaskan esensi akal. Karena itu,
pembahasan akidah Islam juga mengalami kekacauan, sehingga berkembanglah Ilmu
Kalam di dunia Islam. Maka, memahami batasan akal dan pikiran ini menjadi
sangat penting. Dengan begitu semua masalah yang terjadi akibat ketidakjelasan
batasan ini bisa dipecahkan.
Kata ‘akal’
berasal dari bahasa arab: al aql.
Arti lafadz tersebut sama dengan al-
idrak dan al- fikr. Ketiga lafadz
tersebut maknanya sama. Dalam bahasa arab, kata seperti ini disebut mutaradif atau sinonim. Akal merupakan khasiyyat yang diberikan oleh Allah swt
kepada manusia, yang merupakan khasiyyat
otak manusia. Sebab otak manusia mempunyai keistimewaan untuk mengaitkan
realitas yang diindera dengan informasi. Berbeda dengan otak hewan, otak hewan
tidak mempunyai khasiyyat untuk
mengaitkan realitas dengan informasi. Karena itu, hewan tidak dapat diajar
bertingkah-laku baik dan sopan, padahal hewan mempunyai otak, indera, bisa
menerima informasi dan diberi realitas. Ini terjadi otak hewan tidak bisa
mengaitkan realitas dengan informasi. Akibatnya setiap informasi yang diberikan
pada hewan akan hilang, karena fungsi otaknya tidak sama dengan otak manusia.
Inilah bedanya otak hewan dengan manusia.
Otak manusia
adalah sesuatu yang ada dalam tengkorak kepala. Benda ini dikelilingi dengan
tiga lapis selaput yang dijaring dengan rajutan urat saraf yang jumlahnya tidak
terhitung, kemudian saraf tersebut dihubungkan keseluruh indera dan bagian
tubuh manusia. Berat otak manusia dewasa mencapai 1200 gram. Otak tersebut
menghabiskan 25% oksigen yang diperoleh dari kedua paru-paru. Para saintis
telah berkesimpulan melalui eksperimen yang dilakukan dengan menggunakan alat
elektronik pengukur kerja otak, bahwa otak merupakan organ yang berfungsi untuk
berpikir. Melalui alat tersebut dapat diketahui, bahwa ketika seseorang sedang
berpikir, grafik yang tertulis pada alat tersebut akan naik. Sebagian saintis
bahkan telah sampai pada kesimpulan, bahwa informasi yang dapat disimpan oleh
otak manusia mencapai tidak kurang dari 90 juta informasi. Inilah keunikan otak
manusia yang tidak dimiliki oleh otak hewan.
Dengan
demikian, adalah kesalahan besar ketika membahas akal disimpulkan sebagai organ
fisik yang berada didalam otak, kepala ataupun dada, dengan argumen, bahwa hati
ada didada. Karena fakta membuktikan, bahwa hewan juga mempunyai ‘hati’ yang
ada didada, namun hewan tetap tidak mempunyai akal. Karena itu, akal
sesungguhnya merupakan “kekuatan untuk
menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu”. Kekuatan ini bukan
merupakan kerja satu organ tubuh manusia, seperti otak, sehingga akal dianggap
sama dengan otak, lalu disimpulkan bahwa akal tempatnya ada di kepala. Tentu
kesimpulan salah.
Jika demikian
apa yang membentuk kekuatan tersebut yang kemudian secara simultan dapat
membentuk akal? Setelah melalui penelitian yang mendalam dapat ditarik
kesimpulan, bahwa kekuatan tadi terbentuk dari empat komponen. Dari keempat
komponen inilah kemudian menghasilkan apa yang disebut akal. Adapun proses
kerja komponen tersebut sampai menghasilkan kekuatan yang disebut akal adalah
dengan memindahkan realitas yang telah diindera kedalam otak melalui alat
indera yang ada, dan dengan informasi awal yang ada di otak, realitas tersebut
disimpulkan. Pada saat itulah terbentuklah kekuatan untuk menyimpulkan
realitas. Inilah esensi akal manusia.
Intelektual
sosialis, juga telah membuat kesimpulan mengenai akal, bahwa akal merupakan kekuatan yang dihasilkan
melalui proses merefleksikan realitas kedalam otak atau otak kedalam realitas.
Mereka sengaja menolak informasi awal ketika memberikan gambaran mengenai akal.
Maka, mereka menyusun argumentasi, bahwa akal merupakan kekuatan hasil refleksi
otak kedalam realitas atau sebaliknya? Jawabannya tentu tidak benar. Sebab otak
maupun realitas tersebut sama-sama tidak dapat melakukan refleksi atau pantulan
seperti cermin. Yang membawa pantulan objek kedalam otak tersebut sebenarnya
adalah indera yang digunakan untuk menangkap objek tadi adalah hidung, seperti
bau busuk. Juga berbeda ketika objek yang ada ditangkap dengan telinga, seperti
bunyi mobil, maka memori yang tersimpan dalam otak pun berbentuk bunyi.
Demikian seterusnya.
Inilah yang
mereka sebut sebagai refleksi. Yang benar, semuanya tadi bukanlah hasil
penginderaan manusia. Jadi, refleksi tersebut sebenarnya tidak pernah ada. Yang
ada adalah transformasi objek ke dalam otak dalam bentuk memori. Dengan
pandangan tersebut, sebenarnya intelektual sosialis mengakui bahwa komponen
akal yang dapat digunakan untuk berpikir tersebut adalah : (1) otak, (2)
realitas yang dapat diindera, dan (3) penginderaan, yang mereka sebut dengan
“refleksi”.
Sedangkan
alasan mereka menolak adanya informasi awal, sebenarnya lebih disebabkan karena
akidah mereka yang tidak mau mengakui eksistensi Tuhan. Sebab mengakui adanya
informasi awal, berarti mengakui bahwa adanya pemikiran lebih dahulu dibanding
dengan adanya realitas. Dari sini akan muncul pertanyan ; dari mana datangnya
pemikiran manusia yang pertama? Sebab, kalau hal itu diakui, berarti harus ada
Zat diluar diri manusia yang memberikan pemikiran tersebut, dan Zat itu juga
bukan merupakan realitas itu sendiri. Tentu saja ini bertentangan dengan akidah
mereka yang menyatakan, bahwa alam atau realitas yang ada adalah azali, tidak memerlukan Zat diluar
dirinya. Dengan demikian mereka membuat andaian, bahwa manusia pertama telah
melakukan eksperimen untuk mendapatkan informasi.
Benarkah
manusia dapat berpikir tanpa informasi awal? Anak kecil atau orang dewasa yang
gila adalah contoh terbaik untuk membuktikannya. Anak kecil dan orang gila
otaknya sama-sama tidak sempurna. Masing-masing otak mereka tidak dapat
digunakan untuk mengaitkan antara informasi awal dengan realitas yang
ditransfer oleh alat indera mereka. Akibatnya, baik anak kecil maupun orang
gila tersebut, sama-sama tidak dapat membedakan realitas yang ada didepannya.
Ketika anak kecil memegang batu, batu tersebut akan dimakan, dan orang gila pun
akan melakukan hal yang sama. Masing-masing mempunyai otak, tetapi benarkah
dengan otak mereka masing-masing realitas di depan mereka secara otomatis dapat
disimpulkan? Ternyata tidak. Jika orang gila yang dapat melakukannya, tentu
karena sisa memori yang masih terdapat dalam otak mereka. Sementara anak kecil
tadi sama sekali tidak dapat melakukan apa-apa. Contoh lain, ketika anak kecil
tersebut diberi kosakata yang salah, seperti buang air besar dinyatakan dengan
menyanyi, maka sampai besar anak tersebut akan berkesimpulan bahwa menyanyi
adalah buang air besar. Semuanya ini merupakan pengaruh informasi awal pada
diri manusia.
Gambaran ini
terlihat dari penjelasan Allah kepada malaikat, ketika mereka memprotes Allah
SWT terhadap penciptaan Adam. Menurut mereka, manusia hanya akan menimbulkan
kerusuhan dimuka bumi. Allah kemudian membantah seraya menyatakan:”Aku maha tahu tentang apa yang kamu tidak
tahu”. Allah pun kemudian membuktikan pernyataan-Nya:
وَعَلَّمَ
آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي
بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ(31) قَالُواْ سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا
عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ(32) قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُم
بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنتُمْ تَكْتُمُونَ(33)
“Dan
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian mengajukannya kepada
malaikat seraya berfirman: ‘ Beritahukanlah kepada-Ku nama-nama mereka semuanya
jika kamu benar (dengan tuduhan kamu, bahwa lebih tahu)’. “Mereka menjawab:
‘Maha Suci Engkau, kami tidak mempunyai ilmu sedikit pun kecuali apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkau Maha Mengetahui lagi
Bijaksana’. “Dia berfirman: ‘Wahai Adam, sampaikanlah kepada mereka nama-nama
mereka semua’. Apabila Adam selesai menyebutkan kepada mereka nama-nama
semuanya itu, “Dia berfirman: ‘Bukankah Aku telah beritahukan kepada kamu,
bahwa Aku Maha Tahu perkara gaib di langit dan di bumi, serta Maha Tahu apa
yang kamu kemukakan dan apa yang kamu sembunyikan." (QS. Al-Baqarah: 31-33)
Ayat diatas dengan jelas membuktikan bahwa malaikat tidak bisa membuat
kesimpulan mengenai realitas yang ditunjukkan oleh Allah, sedangkan Adam dapat
melakukannya setelah Adam diberi informasi oleh Allah, sedangkan malaikat tidak
diberi informasi terlebih dahulu oleh Allah. Dengan demikian jelas, bahwa tidak
ada satupun manusia dapat mengambil kesimpulan tanpa mempunyai informasi awal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar