آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ
وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللّهِ وَمَلآئِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ
أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا
غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
"Rasul telah
beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membedakan
antara seseorang pun dari Rasul-Rasul-Nya", dan mereka mengatakan,
"Kami dengar dan kami taat". Mereka berdoa: "Ampunilah kami ya
Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285)
Pembahasan
aqidah merupakan pembahasan yang paling penting dibandingkan dengan berbagai
perkara lainnya. Hal ini disebabkan aqidah merupakan asas, kaidah berfikir,
tolok ukur suatu perbuatan, dan standar (acuan) bagi seorang muslim serta
masyarakatnya memecahkan berbagai persoalan (problematika) yang terjadi dalam
kehidupannya di dunia. Dengan demikian, aqidah menjadi landasan bangunan
peradaban manusia, dasar berbagai tonggak kehidupan ditegakkan, tempat
keluarnya berbagai aturan dan peraturan kehidupan, norma, dan tata nilai
masyarakat.
Aqidah pula yang menentukan cara dan arah pandang, cita-cita, dan tujuan yang
dianut oleh para pemeluknya, diyakini kebenarannya, diperjuangkan,
dipertahankan, dan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut, dari
hidup Rasulullah SAW. fakta menunjukkan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya
membina para shahabatnya dengan aqidah yang kuat, namun juga membangun
masyarakat Islam di Madinah untuk selalu bersandar pada aqidah Islam walaupun
ayat-ayat tasyri’ (hukum) belum
seluruhnya diturunkan. Rasulullah SAW. menjadikan syahadat Laa Ilaaha Illallah
sebagai asas bagi segalanya, asas kehidupan muslim, asas yang menghubungkan
interaksi sesama muslim, asas yang mendasari hubungan sesama manusia, asas
untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, menyelesaikan perselisihan,
asas bagi kekuasaan dan mengatur pemerintahan. Permasalahan ini dapat kita
simak dalam Piagam Madinah antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan Yahudi
dimana antara lain disebutkan:
“...Sesungguhnya apabila
terjadi kejadian atau perselisihan di antara mereka yang terlibat dalam
perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan maka hal itu
harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya...” (Sirah Ibnu Hisyam)
Rasulullah SAW. ketika mewajibkan jihad fii sabilillah kepada kaum muslimin sebagai suatu cara untuk
mempertahankan aqidah Islam dan menyampaikan da’wah Islam, beliau Rasulullah
SAW. selalu melandasi perintah itu dengan aqidah tauhid seraya bersabda:
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka mengucapkan Laa Ilaaha Illallahu, Muhammad Rasulullah. Apabila
mereka telah mengucapkannya, maka darah (nyawa) dan harta benda mereka
terlindung dariku, kecuali karena haknya. Dan Allahlah yang menghisab mereka”
(HR. Bukhari, Muslim, dan Ashhabus Sunan)
Aqidah Islam
sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah SWT. telah memerintahkan
kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap hukum yang diturunkan
Allah SWT. dan Rasul-Nya saja. Allah SWT. berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ
يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ
فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada
hakikatnya) tidak beriman sebelum mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
di hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65)
Ayat di atas
menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seorang muslim dan masyarakatnya
diukur dari apakah ia bersedia merujuk kepada hukum Allah dan Rasul-Nya ataukah
tidak. Hal ini menegaskan bahwa aturan dan peraturan kehidupan manusia harus
merujuk dan hanya lahir berasal dari aqidah Islam semata.
Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyyah
Pengertian
aqidah secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab berasal dari dari kata aqada, ya’qidu, aqidatan. Kata tersebut
mengikuti wazan fa’ilatan yang berarti al-habl,
al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan
perjanjian) Adapun pengertian secara terminologi (istilah) adalah:
a.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy menyatakan aqidah adalah iman. Iman merupakan pembenaran (keyakinan) yang bersifat
pasti (tashdiqu al-jaaziim) yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil”.
b.
Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa aqidah merupakan cara pandang keyakinan yang harus diyakini terlebih
dahulu sebelum segala perkara yang lainnya dengan suatu keyakinan yang tidak
diliputi keraguan dan tidak dipengaruhi oleh kesamaran yang menyerupainya”
c.
Muhammad Husein Abdullah menyatakan aqidah adalah pemikiran yang menyeluruh tentang alam, manusia,
kehidupan, serta hubungan semuanya dengan sebelum kehidupan (Sang Pencipta) dan
setelah kehidupan (Hari Kiamat), serta tentang hubungan semuanya dengan sebelum
dan setelah kehidupan (syari’at dan hisab)
Dengan
demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari jalan yang
menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi masih
mengandung persangkaan (dzan) di
dalam keterangannya sehingga menimbulkan perselisihan para ulama, maka hal
seperti itu tergolong pada keyakinan yang tidak wajib oleh agama untuk
meyakininya. Hal ini merupakan garis pemisah atau pembatas yang tegas antara
orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Berdasarkan
uraian di atas, Fathi Salim dalam kitab
Al-Istidlal Bi Az-Zanni Fi Al-Aqidah menyatakan bahwa aqidah Islam atau
iman agar pembenarannya bersifat pasti harus menunjukkan keyakinan (Al Ilmu). Sebab yang disebut dengan ‘Ilmu adalah i’tiqad atau keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan,
sedangkan dzann merupakan i’tiqad (keyakinan) yang kuat tetapi
berdasarkan persangkaan sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada
keraguan (syak).
Sebutan aqidah
Islamiyah ditunjukkan pada iman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan qadar, baik
buruknya berasal dari Allah SWT. Namun demikian bukan berarti selain hal ini
tidak ada lagi perkara yang wajib diimani, tetapi enam perkara tersebut
merupakan kerangka aqidah Islam. Masih banyak terdapat perkara yang lain yang
termasuk pada bagian aqidah, yaitu iman kepada Al-Maut (ajal), rezeki,
tawakkal kepada Allah SWT, iman dengan pertolongan Allah SWT, iman terhadap
sifat-sifat Allah SWT, iman terhadap kema’shuman para nabi dan Rasul, mu’jizat
Al-Qur'an, dan lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan
neraka, yaumul hisab (hari
perhitungan), iman terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara gaib
lainnya berbentuk kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadits
Rasulullah SAW. yang mutawatir.
Dari hal di
atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembahasan aqidah menyangkut hal-hal
pokok semata dalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara yang termasuk aktivitas
dan perbuatan manusia termasuk bagian dalam syariat Islam dan fiqh Islam.
Al-Qur'an
memberikan sebutan aqidah dengan menggunakan istilah iman. Syaikh Mahmud
Syaltouth menyatakan bahwa pengertian aqidah sama dengan iman. Kalau Aqidah
mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang diyakini kebenarannya, yaitu
perkara yang bertalian dengan aspek
Ilahiyah (Ketuhanan), Al Nubuwwah
(kenabian), Al Ruhaaniyat (keruhanian),
dan Al sam’iyyat (berita tentang
akhirat), sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkanul Iman) yang juga harus yakin
tentang kebenarannya. Dengan demikian inti pengertian keduanya adalah sama.
Adapun perbedaan keduanya hanya terletak pada istilah dan sebutan. Aqidah
merupakan istilah yang digunakan para ulama ushuluddin sedangkan Al-Qur'an
menyebutnya dengan menggunakan kata iman.
Dalil Masalah Keimanan
Aqidah Islam
ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya
sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan
berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab
proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil. Dalil
ini adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani.
Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan panca indera maka dalilnya adalah aqli,
tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan panca indera, wajib disandarkan pada
dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua:
1.Dalil Aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan
perkara-perkara yang bisa diindera sebagai jalan (perantara) untuk mencapai
kebenaran yang pasti dari keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman
kepada keberadaan Allah, pembuktian kebenaran Al-Qur'an, dan pembuktian Nabi
Muhammad itu adalah utusan Allah.
2.Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang
diberitakan kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat
secara langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat,
Hari Akhir, Nabi-nabi dan Rasul-Rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat
Allah, dan tentang Taqdir. Khabar yang qath’i ini haruslah bersumber
pada sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir (hadits qath’i).
Pengambilan
dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan pengambilan dalil bagi perkara
tasyri’ (hukum). Hal ini disebabkan aqidah mensyaratkan dalil yang bersifat
pasti, tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Oleh sebab itu, sumber
pengambilan dalil bagi masalah aqidah ini harus qath’i (pasti) sumbernya (qat’i tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya (qath’i dalalah). Sumber yang tergolong pasti adalah Al Qur-an dan
Hadits Rasulullah SAW. yang mutawatir saja.
Muhammad
Husain Abdullah menyatakan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang didasarkan
panca indera, diberitakan oleh sejumlah orang yang jumlahnya menurut kebiasaan
tidak mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu) untuk berdusta (dalam
pemberitaannya). Hadits mutawatir seperti ini menunjukkan Al-‘Ilmu (kepastian), yakin, wajib diamalkan, dan barangsiapa
mengingkarinya dikategorikan kafir.
Adapun yang
dimaksud qath’i dalalah karena
kepastian penunjukkan dalil akan memustahilkan ijtihad dalam perkara aqidah.
Syariat Islam tidak menerima ijtihad seseorang dalam perkara aqidah. Ijtihad
hanya terbatas dalam perkara tasyri’ (hukum) saja. Sebab jika aqidah
dijadikan lahan untuk berijtihad maka bagaimana dengan orang-orang yang hasil
ijtihadnya dalam perkara aqidah tersebut keliru atau salah. Sedangkan
kekeliruan atau kesalahan dalam perkara aqidah akan menjerumuskan pada
kekafiran. hal ini karena aqidah Islam merupakan batas antara iman dan kafir.
Dari hal
inilah maka penunjukkan dalil dalam masalah aqidah harus qath’i (pasti) bukan dzanni
(persangkaan) yang masih mengandung kemungkinan penafsiran berbeda dan beraneka
ragam pemahaman. Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang mewajibkan hal ini adalah:
إِنَّ الَّذِينَ لَا
يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنثَى(27)وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا(28)
“Sesungguhnya
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar
menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan (dzann), sedangkan persangkaan itu tidak berfaidah sedikitpun
terhadap kebenaran” (QS. Al Najm: 27-28)
Ayat di atas
dengan jelas dan gamblang mencela orang-orang yang mengikuti persangkaan dan
dugaan, mencela orang-orang yang mengikuti suatu perkara aqidah tanpa ‘ilmu (kepastian). Celaan dan teguran
ayat-ayat tersebut di atas sekaligus sebagai dalil yang melarang secara tegas
untuk tidak mengikuti persangkaan dan dugaan dalam urusan aqidah. Dalil syara’
menunjukkan kepada kita bahwa beristidlal (menggunakan dalil) dzanni (terdapat adanya dugaan/keraguan)
dalam masalah aqidah dilarang. Di samping itu, tematik yang disinggung oleh
ayat-ayat tersebut di atas seluruhnya menyangkut aqidah, diantaranya ada yang
berhubungan dengan keberadaan Allah SWT, qiamat, malaikat, para Rasul, janji
Allah, penciptaan langit dan bumi, sampai masalah penyaliban Isa Al-Masih.
Hanya saja
perlu diingat bahwa penentuan dalil naqli juga ditetapkan dengan jalan aqli.
Artinya, penentuan dalil tersebut dilakukan melalui penyelidikan untuk
menentukan mana yang dapat dan mana yang tidak untuk dijadikan dalil naqli.
Sebuah dalil naqli harus bisa dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya secara
aqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan
pada metode aqli (aqliyyah).
Sehubungan
dengan ini, Imam Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa kewajiban pertama bagi
seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah
ta’ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan perenungan kalbu dalam
kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut untuk ma’rifat kepada Allah.
Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai ma’rifat terhadap hal-hal yang ghaib
dari pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu keharusan. Hal
seperti itu merupakan suatu kewajiban dalam masalah ushuluddin.” (Fiqh Al-Akbar)
Peranan Akal Dalam Masalah Keimanan
Al-Qur'an
melarang seseorang untuk beriman tanpa proses berpikir (taqlid buta). Islam
mencela orang yang beriman karena sebatas mengikuti orang tua atau nenek moyang
mereka.
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’. Mereka berkata: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek-nenek moyang kami’. (Ataukah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk ?” (QS. Al-Baqarah: 170)
Oleh karena itu, masalah keimanan haruslah dibangun berdasarkan sesuatu yang dipastikan kebenarannya, tidak menduga-duga yang sifatnya dzanni (tidak pasti). Al-Qur'an telah menghinakan kaum musyrik karena mereka hanya mengikuti prasangka. Hanya saja perlu kita ingat, bahwa akal manusia hanya mampu membuktikan sesuatu yang berada di dalam jangkauan akal. Adapun yang di luar jangkauan akal, harus ada sesuatu sebagai perantara (wasilah) yang merupakan petunjuk atas hal-hal yang tak bisa dijangkau tadi.
Seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala
ditanyakan kepadanya: “Dengan apa engkau mengenal Robbmu?” Jawabnya: “Tahi
onta itu menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan ada orang
yang berjalan”.
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an mengajak manusia
untuk membuktikan keberadaan (eksistensi) Allah dengan berpikir melihat alam
semesta. Karena keterbatasan akal dalam berpikir, Islam melarang manusia untuk
memikirkan tentang dzat Allah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga) menyerupakan Allah dengan suatu makhluk. Berkaitan dengan
hal ini Rasullah SAW bersabda:
“Berpikirlah
kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang Allah, sebab
kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya sebenarnya.” (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Nu’im dalam kitab
Al-Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat
khayalan tentang dzat Allah yang sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan
bagaimana Allah melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya.
Sebab, dzat Allah bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak
dapat dianalogikan (qiyas) pada materi apapun.
Inilah jalan
yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan ulama salaf, mereka tidak pernah
menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh akal. Imam Ibn
Al-Qayyim berkata: “Para Sahabat berbeda pendapat dalam beberapa masalah.
Padahal mereka adalah umat yang dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah,
mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam menghadapi asma Allah,
perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka tidak menakwilkannnya,
juga mereka tidak memalingkan pengertiannya.” (I’laamul Muraaqin)
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna
‘persemayaman-Nya (Istiwaa)’ beliau lama tertunduk bahkan mengeluarkan
keringat. Setelah itu Imam Malik mengangkat kepala lalu berkata: “Persemayaman
itu bukan sesuatu yang tidak diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal
yang dapat dipahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan
hal tersebut adalah bid’ah.” (Fath Al-Baari)
Di sisi lain,
banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu hanya berdasarkan
dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti menyebutkan Tuhan
itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau menyebut tidak ada
hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan keimanannya hanya pada
perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri manusia, tapi tanpa
didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya berdasarkan perasaan, yang
terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk mengkhayalkan apa yang diimani
dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya. Maka muncullah penyembahan
berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran kebatinan.
Islam sebagai
satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak demikian. Islam
adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat, sesuai dengan
fitrah manusia dan menentramkan hati.
Rukun Iman
Dasar pokok dari aqidah Islam adalah Arkanul Iman, hal ini didasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khatab; ketika itu Malaikat Jibril
datang kepada Nabi SAW dan bertanya: “Coba
ceritakan apa iman itu? Lalu Rasullah SAW menjawab: Iman itu percaya kepada
adanya Allah, Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat dan
percaya kepada takdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR.
Muslim).
1. Iman kepada Allah
Allah, nama yang
mulia ini adalah sebutan bagi Dzat Suci yang kita imani dan kita beramal
karena-Nya, dan kita mengetahui bahwa dari-Nya lah kehidupan kita dan
kepada-Nya tempat kita kembali. Hanya Allah yang patut menerima pujian dan
memiliki kebesaran, layak ditakuti dan ditaati karena tidak ada satu pun
makhluk yang dapat menandingi-Nya. Walaupun seluruh umat manusia sejak mereka
diciptakan sampai dunia sepi dan berhenti bergerak karena seluruh manusia sudah
punah, melupakan dan ingkar kepada-Nya, sedikit pun tidaklah akan menodai
kemuliaan-Nya dan sebesar dzarah pun tidak akan mengurangi kekuasaan-Nya, serta
tidak seberkas cahaya-Nya yang akan terhalang dan tidak akan secuil
keagungan-Nya pun akan berkurang. Oleh sebab itu, seandainya kita berada pada
suatu masa ketika semua orang bersikap keras kepala memperturutkan hawa
nafsunya dan melupakan hari akhir serta tidak mau tahu terhadap Tuhannya, Hal
demikian itu tidak sedikit pun akan merugikan Allah Ta'ala. Adanya Allah SWT
adalah suatu hal yang jelas dapat diketahui manusia dengan fitrahnya, dan bukan
termasuk masalah yang pelik dan bukan pula hasil pemikiran yang berbelit-belit.
Pernahkah kita memikirkan tentang planet-planet yang beredar, yang membelah
angkasa raya dan mengikuti garis edar atau falak tertentu tanpa berkisar ke
kanan atau ke kiri dan menetapi kecepatan yang teratur tidak terlalu kencang
dan tidak pula terlalu lambat, kemudian kita lihat ia muncul pada waktu yang
telah diperkirakan dan tidak melanggarnya?
Apabila bola
basket dimainkan para pemain, tetapi tidak lama setelah beredar dan
berputar-putar ia selalu jatuh kembali ke bawah, sekarang pikirkan bagaimana
bola-bola yang teramat besar ukurannya yang ada di angkasa, ia tetap beredar
dan tidak jatuh-jatuh, terus berputar tak henti-henti. Itu semua tidak mungkin
terjadi tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya.
وَالشَّمْسُ
تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَّهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ
الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ(38)وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ
مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ(39)
لَا
الشَّمْسُ يَنبَغِي لَهَا أَن تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا
اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ
يَسْبَحُونَ(40)
"Dan matahari itu
berputar pada kedudukan yang tetap. Demikian ketentuan Tuhan Yang Maha Tangguh
dan Maha Mengetahui! Dan bulan Kami tetapkan tempat-tempatnya hingga ia kembali
lancip seperti mayang tua. Tiadalah mungkin matahari itu mengejar bulan dan
tidak pula malam mendahului siang, dan masing-masing beredar sesuai dengan
garis edar tertentu." (QS. Yasin: 38-40)
Seandainya kita
perhatikan semua makhluk yang terdapat di alam raya ini, apakah itu batu,
tanah, tumbuh-tumbuhan, kayu, binatang, daratan, lautan, api, udara, dan lain
sebagainya, kita akan menemukan sejumlah bukti yang tidak terhitung untuk
meyakinkan keberadaan Allah SWT. Semua makhluk yang ada di jagat ini adalah
saksi keberadaan-Nya, termasuk diri kita sendiri, tubuh kita, sifat-sifat kita,
perubahan yang ada pada diri kita, gerak dan diam kita. Hal ini pun menunjukkan
bahwa Dzat Allah berbeda dengan makhluk-Nya, tidak ada yang pantas untuk
disekutukan dengan-Nya. Keimanan kepada-Nya adalah hal yang paling esensi dalam
kehidupan manusia karena sebagai manusia kita amat sangat membutuhkan-Nya.
قُلِ انظُرُواْ مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَمَا
تُغْنِي الآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَن قَوْمٍ لاَّ يُؤْمِنُونَ
"Katakanlah:
'Amatilah apa yang ada di langit dan di bumi. Betapa banyak ayat-ayat
(bukti-bukti) dan peringatan yang tidak berguna bagi kaum yang tidak beriman"
(QS.
Yunus 101)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ
الْفُقَرَاء إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ
الْحَمِيدُ(15)إِن يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ(16)وَمَا ذَلِكَ
عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ(17)
"Hai manusia!
Kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak
memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia
memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu),
yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah. (QS Fathir: 15-17)
Melukiskan
kebesaran-Nya tidak akan pernah ada habis-habisnya dan tidak ada makhluk-Nya
yang sanggup untuk mengurai secara tuntas. Air di seluruh samudera akan kering
jika dipakai untuk menjadi tinta dalam melukiskan kebesaran-Nya begitu pula
seluruh daun-daunan di alam semesta akan habis jika dipakai untuk menjadi
kertasnya. Namun, usaha untuk mempertebal keimanan kepada-Nya tidak pernah
layak untuk dihentikan karena kita harus senantiasa menyempurnakan kualitas dan
kuantitas ibadah kita kepada-Nya.
2. Iman kepada para malaikat-Nya
Iman kepada
Malaikat berdasarkan dalil naqli sebab akal tidak pernah mampu menjangkau
keberadaan Malaikat. Dalil syara tentang adanya Malaikat berasal dari ayat-ayat
Al-Qur'an dan sunnah Rasul SAW, diantaranya adalah firman Allah SWT:
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ
وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah
telah terangkan bahwasanya tidak ada Illah selain Dia, Yang menegak-kan
keadilan dan disaksikan oleh para malaikat dan ahli-ahli ilmu. Tidak ada Illah
selain Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18 )
Malaikat adalah
makhluk Allah yang paling taat kepada-Nya. Malaikat tidak pernah menentang
kehendak-Nya, senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada-Nya serta menjauhi
larangan-Nya. Keimanan kepada malaikat ini membuahkan sejumlah hikmah, di
antaranya adalah :
a.
Mempertebal keyakinan kita pada kekuasaan Allah SWT karena tugas
malaikat sangat banyak yang jauh dari jangkauan manusia, seperti sebagai
perantara wahyu dari Allah SWT kepada para utusan-Nya, pencabut nyawa manusia
dan penyebar rizki. Suatu kesalahan besar jika ada anggapan bahwa malaikat
dengan seperangkat tugasnya menjadikan suatu tanda bahwa dalam mengatur alam
ini Allah SWT perlu pembantu. Adanya malaikat bukan mempersempit kekuasaan
Allah SWT, tetapi sebagai bukti kekuasaan-Nya, sebagai bukti bahwa Allah
sesuatu kekuasaan apa pun yang sanggup menandingi kerajaan-Nya.
فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا
“Demi para malaikat yang mengatur urusan
alam “ (Q.S. An-Nazi’at: 5 )
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ
“Sehingga bila datang kematian pada salah seorang
diantaramu, lalu utusan-utusan Kami mewafatkannya, sedangkan para utusan
(malaikat kami) itu tidak pernah lengah”
(Q.S.
Al-An’am: 61)
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن
فِي
الْأَرْضِ
إِلَّا مَن شَاء اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُم قِيَامٌ يَنظُرُونَ
“(Dan) Ditiuplah sangkakala, maka matilah
siapa saja yang berada di langit dan di bumi kecuali yang dikehendaki Allah.
Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri
menunggu (putusannya masing-masing)”
(QS. Az-Zumar: 68)
قُلْ يَتَوَفَّاكُم مَّلَكُ
الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
“Katakanlah: Malaikat Maut yang diserahi
untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian hanya kepada Rabbmu kamu
pasti dikembalikan” (QS. As-Sajadah: 11)
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ
عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ
“Dan
Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya dan
diutus-Nya kepadamu Malaikat-Malaikat penjaga sehingga apabila datang kematian
kepada salah seorang diantara kamu, ia diwafatkan oleh Malaikat-Malaikat Kami,
dan Malaikat-Malaikat kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (QS. Al-An’am: 61)
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
diri dan keluargamu dari api Jahannam yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu (berhala); penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim: 6).
وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلَّا مَلَائِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ
إِلَّا فِتْنَةً لِّلَّذِينَ كَفَرُوا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ
الَّذِينَ آمَنُوا إِيمَانًا وَلَا يَرْتَابَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُونَ وَلِيَقُولَ
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْكَافِرُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا
مَثَلًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَن يَشَاء وَيَهْدِي مَن يَشَاء وَمَا يَعْلَمُ
جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ وَمَا هِيَ إِلَّا ذِكْرَى لِلْبَشَرِ
“Dan Tidak kami jadikan penjaga Jahannam
itu melainkan dari Malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu
melainkan menjadi cobaan bagi orang-orang Kafir, supaya orang-orang yang diberi
Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan
supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak
ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan
orang-orang Kafir mengatakan: “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan
ini sebagai suatu perumpamaan? Demikianlah, Allah membiarkan sesat orang-orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
dan tidak ada yang tahu tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Jahannam
Saqar itu tiada lain melainkan peringatan bagi manusia” (Q.S. Al-Muddatstsir:
31)
وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ
الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ
“Dan mereka menjadikan Malaikat-Malaikat
yang hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu dianggap perempuan. Apa mereka
menyaksikan penciptaan Malaikat-Malaikat itu? Kelak pasti dituliskan
(bohongnya) kesaksian mereka dan mereka pasti dimintai pertanggungjawaban” (QS. Az-Zukhruf: 19)
b.
Menambah ketawadluan kita sebagai manusia yang banyak melakukan
perbuatan dosa karena malaikat yang mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah SWT
saja tidak pernah melanggar perintah-Nya (apalagi kita yang belum jelas
kedudukannya di hadapan Allah SWT).
c.
Menambah keyakinan kita terhadap kitab-kitab yang telah
diturunkan-Nya kepada para utusan-Nya melalui perantaraan malaikat. Dengan
demikian, tidak ada keraguan dalam diri kita untuk mengamalkannya.
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ(19)ذِي
قُوَّةٍ عِندَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ(20)مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ(21)
“Sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar firman
Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia (jibril), yang mempunyai kekuatan,
yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah pemilik ‘Arasy, yang ditaati di
sana (alam Malaikat) lagi dipercaya” (QS. At-Takwir 19-21)
d.
Memperketat amalan-amalan kita karena keyakinan kita akan adanya
'pengawas' yang ditugaskan Allah untuk kita (malaikat Raqib dan Atid) sehingga
amalan-amalan kita semakin terlindungi dari hal-hal yang dimurkai-Nya.
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ
عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ(17)مَا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ
عَتِيدٌ(18)
“Yaitu ketika dua malaikat mencatat amal
perbuatannya (Raqib-Atid), seorang duduk di kanan dan yang lain duduk di
sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
Malaikat pengawas yang selalu hadir” (QS. Qaaf: 17-18)
Dengan keimanan yang utuh
terhadap malaikat, seorang muslim akan berhati-hati dalam berbuat, karena ia
yakin sang Malaikat akan senantiasa mencatat amal baik dan buruknya. Selain itu
pun akan lebih berani dan optimis dalam mengarungi kehidupan, khususnya dalam
mengemban da’wah, karena ia yakin selalu “dikawal” oleh tentara Allah yang perkasa,
yakni para Malaikat.
3. Iman kepada kitab-kitab-Nya
Seorang Muslim
beriman dan yakin kepada segala hal yang diturunkan dan diwahyukan oleh Allah
SWT, berupa kitab dan apa yang difirmankan-Nya kepada beberapa Rasul berupa shuhuf (lembaran).
Kitab-kitab
yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat macam, yaitu Al-Qur'an
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat yang diturunkan kepada Nabi
Musa as. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud as. Dan Injil yang diturunkan
kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa as. Sementara itu firman Allah dalam
bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as.
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan misi yang diemban oleh para
Rasul-Nya dari masa ke masa, tidak berubah, yaitu tauhidullah. Hal ini
pun menunjukkan bahwa Tuhan dari semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW,
manusia pertama yang diciptakan hingga manusia akhir yang kelak akan diciptakan
adalah sama, yaitu Allah SWT. Kitab-kitab itu masing-masing diturunkan-Nya
untuk menyempurnakan yang sebelumnya. Tidak ada kesimpangsiuran atau target
yang tidak jelas karena yang menurunkannya adalah Allah SWT, Sang Maha Pengatur
yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di antara
kitab tersebut, hanya Al-Qur'an lah yang dipelihara/dijaga keasliannya oleh
Allah SWT dan sekaligus berfungsi sebagai penyempurna dan penghapus Syari’at
Nabi dan Rasul sebelumnya. Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an. Dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr: 9)
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا
عَلَيْهِ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ عَمَّا جَاءكَ مِنَ الْحَقِّ
“(Dan)
Kami telah menurunkan Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelum-nya) dan sebagai standar
terhadap Kitab-Kitab tersebut. Maka putuskanlah perkara mereka menurut
(Al-Qur'an) yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka dengan meninggalkan kebenaran (Al-Qur'an) yang telah datang kepadamu." (QS. Al-Maidah: 48)
Beriman terhadap kitab Allah mempunyai sandaran yang berasal dari
pemahaman dalil aqli dan naqli. Adapun mengenai penjelasan dalil-dalil
tersebut, maka Al-Qur'an adalah kitab yang berbeda dengan kitab-kitab lainnya.
Secara faktual/nyata, Al-Qur'an merupakan suatu kenyataan yang bisa dijangkau
panca indera dan akal, dapat dipikirkan atau dibuktikan kebenarannya.
Tidak demikian
halnya dengan kitab samawi lainnya. Kitab tersebut faktanya
sudah tidak ada, sehingga akal sudah tidak mampu membahas dan membuktikan
kebenarannya (bahwa kitab itu berasal dari Allah). Sebab kitab-kitab tersebut
tidak mengandung mukjizat yang bisa dijangkau akal manusia (terutama manusia
pada zaman kini). Juga Nabi yang membawanya tidak menjadikannya (Taurat, Zabur,
dan Injil) sebagai bukti tentang kenabiannya. Walaupun demikian, kita wajib
meyakini kitab-kitab tersebut pernah diwahyukan kepada nabi-nabi dan
Rasul-Rasul terdahulu, baik yang diberitakan dalam Al-Qur'an maupun yang tidak
diberitakan.
Karena itu,
dalil keimanan terhadap kitab-kitab suci selain Al-Qur'an, adalah dalil naqli,
yakni berdasarkan (ditunjukkan) oleh Al-Qur'an dan hadits Rasul yang pasti,
seperti firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ آمِنُواْ بِاللّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِيَ أَنزَلَ مِن قَبْلُ وَمَن يَكْفُرْ بِاللّهِ
وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاًبَعِيدًا
"Wahai
orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab-kitab yang Allah telah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang
Allah telah turunkan sebelumnya. Siapa saja yang kafir kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari kiamat, maka
sesungguhnya orang-orang tersebut telah sesat sejauh-jauhnya." (QS.
An-Nisaa: 136)
Adapun dalil yang menunjukkan
bahwa Al-Qur'an telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad
SAW, melalui Malaikat Jibril as, adalah berdasarkan pada dalil aqli, yaitu
dengan pembuktian dari segi ketinggian bahasa (Al-Qur'an) dan isi yang
dikandungnya. Kedua hal ini telah menunjukkan suatu mukjizat yang amat
menakjubkan dan besar, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur'an bukan hasil karya
seorang manusia.
Bahkan untuk
itu, Rasulullah SAW telah menantang kaum Quraisy dan orang-orang Arab untuk
menandingi Al-Qur'an. Sebab, beliau yakin bahwa kitab tersebut adalah sebagai
satu-satunya mukjizat terbesar sekaligus bukti kenabiannya sebagai utusan
Allah. Beliau tidak perlu lagi memperhatikan mukjizat lainnya, walaupun
orang-orang Quraisy meminta bukti (mukjizat) selain Al-Qur'an itu. Peristiwa
itu diabadikan di dalam Al-Qur'an:
وَقَالُوا لَوْلَا أُنزِلَ عَلَيْهِ آيَاتٌ مِّن رَّبِّهِ قُلْ إِنَّمَا الْآيَاتُ عِندَ
اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُّبِينٌ
"(Dan)
orang-orang Makkah berkata: Mengapa tidak diturunkan kepadanya
mukjizat-mukjizat (benda lainnya) dari Rabb-Nya?". Katakanlah (Hai
Muhammad): "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan
sesungguhnya aku ini hanya seorang pemberi peringatan yang nyata"
(QS.
Al-Ankaabut: 50)
Ayat ini
secara jelas menerangkan bahwa Al-Qur'an adalah mukjizat bagi Rasulullah SAW.
Karena itu, cukuplah sudah Al-Qur'an itu sebagai bukti tentang kenabian dan
kebenaran Rasulullah SAW, baik untuk masa lalu, kini maupun masa yang akan
datang.
Setiap orang
yang memiliki pengetahuan walaupun sedikit tentang bahasa dan sastra Arab serta
seluk beluknya akan menemukan bahwa Al-Qur'an merupakan bentuk ungkapan bahasa
yang istimewa dan belum pernah ada orang-orang Arab yang mengungkapkan
perkataan seperti itu, baik sebelum turunnya Al-Qur'an maupun sesudahnya.
Kehebatan
Al-Qur'an dengan segala aspeknya telah menyebabkan mereka tersungkur
mengakuinya dan bantahan apapun menjadi patah dihadapan tantangan tegasnya.
Tantangan tersebut telah menyebabkan mereka terdorong untuk mencoba berbicara
atau membuat seperti Al-Qur'an. Tetapi yang terjadi, ternyata sungguh
mengherankan, untuk meniru apalagi mengubah dalam gaya bahasa Al-Qur'an pun
mereka tidak mampu, padahal mereka adalah orang-orang Arab yang terkenal fasih
di bidang sastra dan berbicara (syair, puisi dan lainnya). Tetapi memang sudah
sepatutnya mereka kalah dan mengakui kebenaran Muhammad SAW, sebagaimana
tercantum dalam firman-Nya:
قَدْ نَعْلَمُ إِنَّهُ لَيَحْزُنُكَ الَّذِي يَقُولُونَ
فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُونَكَ وَلَكِنَّ الظَّالِمِينَ بِآيَاتِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
"Sesungguhnya
Kami tahu bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkanmu, (tetapi janganlah
bersedih) karena mereka itu sebenarnya bukan mendustakanmu, akan tetapi
orang-orang yang dzalim itu telah mengingkari ayat-ayat Allah" (QS. Al-An'aam: 33)
Juga itu tercatat dalam
sejarah da’wah Islam tentang bagaimana kekalahan mereka dihadapan Al-Qur'an.
Kekalahan itu telah disepakati oleh ahli sejarah secara meyakinkan, bahwa
orang-orang Arab telah gagal meniru, yaitu mereka tidak mampu menelorkan satu
perkataanpun yang senilai dengan Al-Qur'an, meskipun Al-Qur'an telah menantang
mereka. Kenyataan itu diabadikan dan dinyatakan Al- Qur'an
sendiri:
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَن
يَأْتُواْ بِمِثْلِ هَـذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah:
"Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa
Al-Qur'an ini, pasti mereka tidak dapat membuat yang serupa, sekalipun seluruh
dari mereka membantunya“(QS. Al -Israa': 88)
Berdasarkan
kepastian yang menyakinkan di atas bahwa kaum Quraisy dan bangsa Arab Secara
keseluruhan tidak mampu membuat satu ayat pun yang serupa dengan Al-Qur'an,
yakinlah kita bahwa Al-Qur'an terbukti berasal dari Allah dan merupakan Kalamullah.
Keyakinan dan
bukti seperti itu menyebabkan orang-orang tidak bisa sembarangan mengatakan
bahwa Al-Qur'an adalah perkataan Muhammad SAW, walaupun Muhammad SAW adalah
orang Arab. Sebab bila orang Arab sendiri tidak mampu menandingi Al-Qur'an,
maka Rasulullah SAW pun sama, tidak mampu seperti halnya orang Arab yang lain.
Lebih daripada itu, bagaimana mungkin Al-Qur'an diciptakan oleh Muhammad SAW,
padahal ia Nabi yang buta huruf (ummi),
sedangkan Al-Qur'an mengandung kabar masa depan dan sains teknologi yang baru
diungkapkan pada abad ini? Juga, bagaimana mungkin ia dikarang oleh Muhammad
SAW, sedangkan dia sering menunggu datangnya Al-Wahyu jika menghadapi persoalan?
Al-Qur'an
merupakan mukjizat yang paling besar di antara mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad
lainnya dan yang paling ampuh untuk menaklukkan orang-orang yang ingkar
terhadap kenabian beliau. Pernyataan seperti ini kita temukan dalam Al-Qur'an.
Al-Qur'an memiliki sajak yang berbeda dengan syair-syair yang ada, berbeda
dengan isi pidato-pidato, ucapan dan karangan yang tertulis manapun.
Di antara hikmah
yang dapat diambil dari keimanan kepada kitab-kitab-Nya adalah:
a.
Kita semakin yakin bahwa Allah SWT tiada bandingnya, terbukti
dengan tidak adanya manusia yang sanggup membuat kitab yang sebanding dengan
kitab-kitab-Nya, baik dari segi struktur kata, gaya bahasa, maupun keindahan
perpaduan katanya (kejelasan makna dan tujuan kalimat).
b.
Kita semakin yakin akan Kemahatahuan Allah SWT, karena di dalam
kitab-kitab-Nya terdapat informasi-informasi masa lalu dan masa yang akan
datang di samping informasi-informasi yang aktual hingga akhir zaman.
c.
Kita dapat mengetahui kebenaran Rasul-Rasul yang diutus-Nya,
melalui informasi/petunjuk yang diberikan-Nya.
d.
Menambah keimanan kita terhadap Keesaan Allah SWT.
4. Iman kepada para utusan-Nya
Iman kepada para utusan-Nya,
menunjukkan bahwa semua Rasul yang
diutus-Nya adalah pengemban misi yang sama yaitu tauhidullah yang akan membawa
keselamatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Di samping itu, menunjukkan
terdapat aturan dalam beribadah kepada-Nya karena itu manusia memerlukan penunjuk
jalan yaitu seseorang yang telah diutus-Nya. Para utusan Allah adalah
orang-orang yang terpilih, tidak bisa setiap orang mengklaim dirinya sebagai
Rasul dan tidak bisa pula setiap orang mengangkat orang lain menjadi Rasul.
Pengangkatan Rasul adalah hak Allah SWT, bukan hak manusia. Allah
SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ…
“(Dan) Kami tidak
mengutus sebelum kamu seorang Rasul pun dan tidak pula seorang nabi...”
(QS. Al-Hajj: 52)
Seorang Muslim wajib menyakini semua nabi dan Rasul
sebagaimana firman Allah SWT:
قُولُواْ آمَنَّا بِاللّهِ
وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالأسْبَاطِ
وَمَا
أُوتِيَ
مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ
وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Katakanlah (kepada orang-orang Mukmin):
‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang
diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’kub dan anak cucunya, dan apa yang
diturunkan kepada Musa dan Isa, serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari
Rabbnya, Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya
tunduk patuh kepada-Nya.”(QS. Al-Baqarah: 136).
وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيْكَ مِن قَبْلُ وَرُسُلاً
لَّمْ
نَقْصُصْهُمْ
عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللّهُ مُوسَى تَكْلِيمًا
“(Dan) sesungguhnya telah Kami utus beberapa
Rasul sebelum kamu. Di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di
antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu” (QS. An Nisaa: 164)
Semua nabi dan
Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah untuk suatu bangsa tertentu (baik
satu atau beberapa generasi dari suatu bangsa) dan untuk suatu periode
tertentu. Daerah atau wilayah da’wah dari seorang nabi serta masa berlaku
syariatnya pun terbatas sampai datangnya Rasul penggantinya. Semua nabi dan
Rasul, risalah da’wah mereka terbatas dan bersifat lokal, kecuali risalah
da’wah Nabi Muhammad SAW yang bersifat universal. Tentang keuniversalan risalah
Nabi Muhammad SAW, Allah SWT telah menegaskan sendiri dalam Al-Qur'an pada
beberapa ayat dan surat, antara lain:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“(Dan)
Kami tidak mengutus melainkan bagi ummat manusia seluruhnya,sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak (mau)
mengetahui.” (QS. Saba: 28)
Awal dari para nabi adalah Adam a.s. dan akhir para
nabi adalah Muhammad SAW. Kenabian Adam a.s. diperjelas oleh Allah dalam
firman-Nya:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِن
رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ(37)قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ
هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ(38)
“Kemudian
Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-Nya. Maka, Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Kami berfirman:
“Turunlah kamu dari jannah itu, Kemudian jika datang petunjuk-Ku, maka siapa
saja yang mengikuti petunjuk-Ku, pastilah tidak ada kekhawatiran atas mereka,
dan tidak (pula) mereka bersedih hat.i” (QS. Al-Baqarah: 37-38).
Adapun kenabian Muhammad SAW, dapat dibuktikan secara aqli dengan
Al-Qur'an. Ia adalah Kalamullah, yang telah membungkam orang-orang kafir,
terdiam tak mampu mendatangkan satu surat saja semisal Al-Qur'an. Hal ini
menjadi dalil yang meyakinkan bahwa Muhammad SAW adalah seorang nabi dan Rasul.
Sebab, suatu mukjizat hanya diberikan Allah kepada para nabi dan Rasul. Allah
SWT berfirman:
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُواْ بِسُورَةٍ مِّن
مِّثْلِهِ وَادْعُواْ شُهَدَاءكُم مِّن دُونِ اللّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“(Dan)
jika kalian (tetap) meragukan Al-Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami
(Muhammad SAW), maka buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur'an dan
ajaklah para penolong selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar.”
(QS. Al-Baqarah: 23)
Beberapa hikmah
yang dapat diambil dari keimanan kepada para utusan-Nya ini adalah:
a.
Menambah keyakinan kita pada kemahabijaksanaan-Nya yang tidak
membiarkan para hamba-Nya dalam kesesatan, sehingga diutuslah para Rasul untuk
menjabarkan tata cara beribadah yang benar.
b.
Menambah keyakinan kita bahwa jalan yang benar itu hanya satu,
yaitu jalan Allah SWT, sehingga sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW misi
yang diemban hanya satu yaitu tauhidullah.
c.
Para Rasul-Nya bukanlah manusia biasa, melainkan manusia pilihan.
Oleh karenanya kita tidak bisa menyamakan kedudukan kita setara dengan mereka,
sehingga tidak layak bagi kita untuk melecehkan atau mengingkari mereka.
5. Iman kepada hari akhir
Seorang muslim
beriman bahwa kehidupan di dunia akan musnah dan berakhir, kemudian berganti
dengan kehidupan kedua di alam akhirat. Keyakinan terhadap alam akhirat/hari
Kiamat ini merupakan bagian dari rukun iman (dasar-dasar keimanan). Adapun
bukti-bukti adanya hari Kiamat, sekaligus dalil keimanannya, berasal dari wahyu
(ayat-ayat) Allah dan hadits Rasul. Dasar pemahamannya berdasarkan dalil naqli,
bukan dalil aqli. Sebab, hari Kiamat adalah sesuatu yang tidak terjangkau panca
indra manusia, sehingga akal tidak mampu menemukannya dengan pasti berdasarkan
usaha pengindaraan terhadap sesuatu. Tanpa adanya berita tentang hari Kiamat
dari wahyu Allah, maka manusia tidak mengetahui apakah ada atau tidak hari
kebangkitan sesudah mati, untuk apa ada hari kebangkitan itu, juga apakah masih
ada atau tidak kehidupan sesudah mati, serta bagaimana bentuk kehidupan sesudah
mati itu? Dalil-dalil naqli yang menjelaskan tentang hari Kiamat tersebut di
antaranya adalah:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَن لَّن يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى
وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى
اللَّهِ يَسِيرٌ
“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa
mereka sekali-kali tidak dibangkitkan. Katakanlah, Tidak demikian. Demi
Tuhanku, kalian benar-benar pasti dibangkitkan, kemudian akan diberikan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Hal demikian adalah mudah bagi Allah”. (QS.
At-Taghaabun: 7)
Iman kepada hari Kiamat adalah
iman kepada hari berbangkit, yaitu waktu berakhirnya seluruh kehidupan makhluk
di alam semesta yang fana ini, kemudian Allah pasti menghidupkan kembali semua
makhluk yang telah mati, membangkit-hidupkan tulang-belulang yang sudah hancur,
mengembalikan jasad yang telah menjadi tanah sebagaimana asalnya, dan
mengembalikan ruh pada jasad seperti sedia kala.
Manusia selalu
bertanya kapankah terjadinya hari Kiamat. Sesungguhnya hanya Allah yang tahu
dengan pasti dan tepat, kapan terjadinya. Allah SWT berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ
السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي لاَ
يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلاَّ هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ لاَ
تَأْتِيكُمْ إِلاَّ بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا
عِلْمُهَا عِندَ اللّهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Mereka
menanyakan kepadamu tentang hari Kiamat: “Bilakah terjadinya? Katakanlah:
“Sesungguhnya pengetahuan tentang hari Kiamat itu ada sisi Rabbku. Tidak seorangpun
yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat
(huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan
datang kepadamu melaikan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu
seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya
pengetahuan tentang Hari Kiamat itu ada di sisi Allah, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf: 187)
Al-Qur'an
menerangkan bahwa hari Kiamat terjadi setelah ditiupnya sangkakala pertama oleh
Malaikat Israfil. Pada saat itu, semua makhluk binasa kecuali mereka yang
dikehendaki oleh Allah. Firman Allah SWT:
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن
فِي
الْأَرْضِ
إِلَّا مَن شَاء اللَّهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُم قِيَامٌ يَنظُرُونَ
“(Dan)
ditiuplah sangkakala, maka matilah apa yang ada di langit dan bumi kecuali yang
dikehendaki oleh Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka
tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS.
Az-Zumar: 68)
Iman kepada hari
akhir memberi kita semangat untuk terus dapat meningkatkan kuantitas dan
kualitas amal perbuatan kita, sehingga semuanya bernilai ibadah dan dapat
dijadikan bekal untuk perjalanan menuju kehidupan yang kekal abadi di akhirat
nanti. Di samping itu, iman pada hari akhir akan menambah keyakinan kita kepada
keimanan kepada Allah SWT yang mempunyai sifat Mahaadil dan Mahabijaksana
karena di akhirat nanti manusia akan diberi balasan sesuai dengan
amalan-amalannya.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ
ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَه(7)وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ(8)
"Barangsiapa yang
mengerjakan kebaikan sebesar dzarah, niscaya ia akan mendapat balasannya, dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarah pun, niscaya ia akan mendapat
balasannya."
(QS. Al-Zalzalah: 7-8)
Karena itu iman kepada hari akhir mempunyai
dampak positif bagi kehidupan seseorang, yakni:
a.
Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT
dan senantiasa mengharapkan pahala pada hari Kiamat. Ia akan berusaha menjauhi
segala larangan-Nya karena takut siksaan kelak di kemudian hari.
b.
Menghibur dan mendorong agar bersabar bagi Mukmin bahwa
kebahagiaan (kesenangan, kesejahteraan) yang belum diperolehnya di dunia akan
diterimanya di kemudian hari.
Bagi kaum
Muslimin, iman kepada hari Kiamat sesungguhnya akan berdampak kuat bagi
setiap amal perbuatannya. Bagi mereka yang beriman, maka mereka pasti akan
berlomba-lomba menjalankan semua perintah Allah berupa Syariat yang telah
diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad SAW yaitu Syariat Islam.
Hari Kiamat merupakan hari yang pasti datang.
Seluruh manusia akan menemuinya, baik secara suka rela maupun terpaksa.
Sesungguhnya siksaan maupun kenikmatan yang diterima setiap manusia merupakan
akibat logis dari seluruh amal perbuatannya selama ia hidup di dunia.
6. Iman kepada Takdir
Iman kepada
takdir merupakan sesuatu yang wajib bagi setiap Muslim, sebab hal ini memiliki
sandaran nash-nash Al-Qur'an yang pasti (qath’i)
serta dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya yang mutawatir. Berbeda
dengan iman kepada ‘Qadha dan Qadar’, ia bukan lahir dari nash-nash syara’
secara langsung. Istilah ‘Qadha dan Qadar’, sebagai istilah tertentu yang
bermakna tertentu pula, tidak didapatkan dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah.
Kalau kita kaji dari buku-buku hadits, kita tidak akan menemukan masalah ini
(qadha dan qadar). Kita hanya akan menemukan pembahasan taqdir (atau al-qadar
yang bermakna takdir). Di dalam Al-Qur'an sendiri tidak ada istilah ‘qadha dan
qadar’ yang digabungkan itu dan keduanya hanya ditemukan terpisah.
Tiadanya istilah qadha dan qadar (yang digabungkan,
dan memiliki makna tertentu pula) tersebut, karena memang masalah ini baru
muncul pada masa tabi’in (setelah masa shahabat), pada akhir abad pertama
Hijriyah (awal abad kedua Hijriyah).
Qadar secara
bahasa memiliki banyak makna misalnya; qadarul amri artinya mengurusi, qadarusy-syai
bi syai artinya mengukur, memperbandingkan, membagi, qadarur-rizqihi artinya
menyempitkan rizqinya
Qadar secara
istilah adalah ketentuan Allah terhadap sesuatu semenjak azali, sesungguhnya
Allah telah menentukan segala sesuatu yang akan terjadi baik berupa benda-benda
maupun perbuatan-perbuatan sebelum semua itu diciptakan. Firman Allah SWT:
فَأَنجَيْنَاهُ
وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ قَدَّرْنَاهَا مِنَ
الْغَابِرِينَ
"Kami selamatkan
dia beserta keluarganya, kecuali istrinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk
orang-orang yang tertinggal (dibinasakan)." (QS. An-Naml: 57)
Maksud ayat tersebut,
Allah telah mencatatkan hal yang demikian itu dan menakdirkannya semenjak
azali. Firman Allah SWT:
قُل لَّن يُصِيبَنَا
إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا
وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
"Katakanlah:
'Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh
Allah bagi kami..." (QS. At-Taubah: 51)
Maksudnya, Allah
telah menetapkan bagi manusia segala sesuatu semenjak azali sebelum manusia
diciptakan. Firman Allah SWT:
مَا أَصَابَ مِن
مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ
إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا
إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Tiada suatu
bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." (QS. Al-Hadiid: 22)
Maksudnya, tidak
ada yang menimpa di bumi dan menimpa diri manusia melainkan telah tercatat di
Lauh Mahfuzh dengan pengertian bahwa Allah SWT telah mengetahui semuanya
sebelum Dia menciptakannya dan dituliskan di
Lauhul Mahfuzh (kitab induk dan gambaran umum luasnya ilmu Allah SWT).
Inilah
pengertian sederhana dari takdir yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan
hadits Rasulullah SAW. Dengan kata lain takdir adalah catatan (ilmu Allah) yang
menyeluruh tentang segala sesuatu. Yang dimaksud dengan ‘segala sesuatu‘,
termasuk benda-benda, manusia amal perbuatannya, makhluk hidup lain, dan
lain-lain; semuanya telah tercatat/diketahui oleh Allah SWT. dan dituliskan di Lauhul Mahfuzh.
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
“Sesungguhnya
kami menciptakan segala sesuatu menurut taqdirnya/ukurannya” (QS. Al-Qamar: 49).
“Bagi setiap ummat akan muncul segolongan
manusia yang berperilaku seperti Majusi.Orang-orang Majusi mengatakan bahwa
tidak ada takdir. Jika di antara mereka ada yang meninggal, maka janganlah
kalian menghadiri jenazahnya. Jika mereka sakit, janganlah dijenguk, (sebab)
mereka adalah (sama dengan) golongan Dajjal. Memang pantas dengan ketentuan
tersebut,yaitu menghubungkan perilaku mereka yang mirip dengan Dajjal, adalah
ketentuan yang hak (benar) dari Allah SWT.” (HR. Abu Dawud dari
Hudzaifah)
“Rasululah SAW suatu hari duduk-duduk (bersama para shahabat). Di tangan
beliau ada sepotong kayu, lalu dengan kayu tersebut beliau menggores-gores
(tanah). lalu nabi mengangkat kepala dan berkata: “Setiap kalian yang bernyawa
sudah ditetapkan tempatnya di Jannah (surga) dan Jahannam: para shahabat
(terkejut) lalu bertanya: “Kalau demikian ya Rasullah SAW apa gunanya kita
beramal? apakah tidak lebih baik kita bertawakal saja (kepada takdir)? Beliau
menjawab: “ jangan! tetaplah beramal, setiap orang akan dimudahkan oleh Allah
jalan yang sudah ditentukan baginya”. Lalu Rasullah SAW membaca surat Al-Lail
ayat 5-10”. (Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi)
Bagian keimanan
ini memerlukan pembahasan yang khusus karena banyak masalah yang harus
diperhatikan agar tidak menyimpang dari ketauhidan kita kepada Allah SWT. Oleh
karena itu, pada uraian ini hanya akan dibahas mengenai beberapa hikmah yang
dapat direnungi dari buah iman kepada takdir-Nya, yaitu :
a.
Sifat Kemahatahuan dan Kemahabijaksanaan Allah SWT tidak ada yang
mampu menandingi-Nya, sehingga kebaikan dan keburukan menurut pandangan Allah
ada kalanya berbeda dengan apa yang ada pada pandangan manusia.
قُل
لاَّ يَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ
كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُواْ اللّهَ يَا أُوْلِي
الأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
"Katakanlah:
'Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu
menarik hatimu, bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal, agar
kamu beruntung."
(QS. Al-Maidah:
100)
b.
Sifat Kemahaadilan Allah SWT memberikan kebebasan bertindak bagi
manusia, sehingga manusia bebas berjalan tanpa paksaan untuk menentukan
jalannya (dengan sebelumnya telah diberi petunjuk oleh Tuhannya)
وَقُلِ الْحَقُّ مِن رَّبِّكُمْ فَمَن شَاء
فَلْيُؤْمِن وَمَن شَاء فَلْيَكْفُرْ إِنَّا
أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ
سُرَادِقُهَا وَإِن يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاء
كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ
الشَّرَابُ وَسَاءتْ مُرْتَفَقًا
"Katakanlah:
'Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa ingin beriman hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa ingin kafir maka biarlah ia kafir..." (QS. Al-Kahfi: 29)
Konsekuensi Keimanan Kita
Sebagaimana kita ketahui, iman kepada Allah SWT harus
datang dari pemahaman akal. Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk
beriman kepada hal-hal yang ghaib dan segala apa yang dikabarkan oleh Allah
SWT. Sebab, apabila kita telah beriman kepada-Nya maka konsekuensinya kita
wajib pula beriman terhadap apa-apa yang dikabarkan-Nya melalui Rasul-Nya.
Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal.
Kalaupun dia harus mempercayai dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil
yang diterimanya itu harus qath’i (pasti). Untuk mengetahui apakah suatu dalil
pasti atau tidak, juga harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab,
tidak ada taqlid dalam masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah
disebut Aqidah Aqliyah, artinya aqidah yang dapat diterima oleh akal.
Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang
telah dijelaskan di atas, ia pun wajib menerima seluruh Syariat Islam sebagai
pengatur bagi kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah SWT melalui
Rasul-Nya, baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Penerimaan
terhadap hal tersebut harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian.
Tidak boleh dipilah-pilah dalam menerima hukum-hukum Allah. Semuanya harus
diterima dan diimani dengan sepenuh hati.
Jadi penolakan terhadap
ayat:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ...
“Tegakkanlah shalat...!” (QS. Al-Baqarah: 110)
sama saja dengan penolakan
terhadap ayat:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا...
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah
tangan keduanya...”
(QS. Al-Maidah: 38)
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ
الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ ...
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah...” (QS. Al-Maidah: 3)
Dan penerimaan
terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja, dalam arti hanya
sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat penyerahan mutlak dan
totalitas terhadap segala peraturan yang datang dari Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar