Sabtu, 04 November 2017

KETERIKATAN TERHADAP HUKUM SYARA'



 
Seluruh amal perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya pernyataan dari Syari’at. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram, makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab, tidak ada ‘taklif’ (beban hukum) sebelum sampai pernyataan syara’. Allah SWT berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“(Dan) Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
(QS. Al-Israa: 15)

Berdasarkan ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT memberikan jaminan bahwa tidak akan datang adzab, kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka tidak terbebani oleh satu hukum pun.
Hanya saja, tatkala Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau telah sampai kepada suatu kaum, penjelasan syara’, maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah SWT berfirman:

رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
 “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisaa: 165)

Dengan demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakimanannya dan ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang dibawanya ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
Dan berdasarkan kaidah syara’ “Asal dari perbuatan (manusia) terikat dengan hukum syara”. Maka untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan Allah SWT. Allah Swt berfirman:

 وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“... apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr: 7)

Tidak berarti dikatakan disini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah saw telah lewat) maka ia tidak termasuk mukallaf (orang yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan dengan suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari hukum Syari’at. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu semua.”
(QS. Al-A’raf: 158)

Hukum Asal Perbuatan Terikat Hukum Syara’
Perbuatan adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik ucapan atau perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya. Hukum syara’ didefinisikan sebagai seruan asy-syaari’ (pembuat hukum, Allah) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Hukum syara’ hanya ditunjukan kepada perbuatan, tanpa memperhatikan benda yang berkaitan dengan perbuatan tersebut.
Ulama yang menelusuri/mendalami nash-nash dan hukum-hukum syara’, mendapati bahwa syara’ telah membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
Penentuan hukum perbuatan itu mubah, sunnah, makruh, wajib dan haram harus didasarkan pada (adanya) dalil sam’i (dalil yang sampai pada kita melalui riwayat) tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sam’i tidak mungkin menetapkan suatu hukumn hukum atas perbuatan dan tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas perbuatan tersebut mubah, haram, makruh, sunnah dan wajib kecuali setekah diketahui adanya dalil sam’i yang menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk mencari hukum Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara atau meninggalkan tugas dan kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah, karena semuanya ini tidak dibenarkan oleh hukum syara’. Akan tetapi perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yaitu diwajibkannya mencari dalil-dalil syar’i dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat diketahui hukum Allah atas perbuatan tersebut, apakah haram, wajib, sunnah, makruh atau mubah. Hal ini disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa perintah dan larangan. Allah yang telaah mewajibkan seorang muslim untuk mengetahui terlebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan dilakukannya, apakah mubah, sunnah, makruh, haram atau wajib. Jadi setiap perbuatan mesti berkait dengan hukum yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, sunnah atau wajib. Dan setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:

فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ(92)عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ(93)
”Maka demi Rabbmu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang mereka kerjakan dahulu.”  (QS. Al Hijr: 92-93)

وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
”Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur’an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.”
(QS. Yunus: 61)

Yang dimaksud dengan “Kami mejadi saksi” dalam ayat di atas, berupa pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan bahwa Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullah saw pun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum Allah (hukum Islam) dengan sabdanya:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak didasarkan perintah kami, maka tertolak”
Dari sini maka jelaslah bahwa setiap perbuatan merupakan hukum syara’ yang wajib bagi seseorang untuk mencari dalil syara’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, makruh, wajib, sunnah atau haram ditentukan dari adanya dalil sam’i bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ (sahabat) dan qiyas.

Asal Hukum Benda Adalah Ibahah (Mubah)
Benda adalah segala sesuatu yang dimanfaatkan, pada hakikatnya berbeda dengan perbuatan. Perbuatan manusia selalu berhubungan dengan atau menggunakan sesuatu agar kebutuhannya terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan sebagainya, yang kesemuanya itu termasuk dalam kategori perbuatan/tindakan. Sedangkan jual beli, sewa menyewa, perwakilan, jaminan dan lain-lain termasuk k  elompok perbuatn berupa ucapan.
Kedua jenis perbuatan tersebut berhubungan dengan sesuatu/materi yang digunakan. Misalnya, perbuatan makan berhubungan dengan benda-benda seperti roti, apel, daging babi dan lain-lain. Seluruh benda mempunyai status hukum syara’, sebagaimana dengan perbuatan.
Mengenai benda, ulama yang menelusuri nash-nash syara’ akan mengetahui bahwa Allah menentukan sifat atas benda dengan halal dan haram saja, bukan dengan sebutan wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah menjadikan halal atau haram sebagai sifat atas sesuatu/benda sebagaimana firman Allah SWT:


قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً
“Katakanlah: ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu kamu menjadikan sebagiannya haram dan (sebagaian lainnya) halal." (QS. Yunus: 59)

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ
“(Dan) janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ini halal dan ini haram.” (QS. An Nahl: 116)

Dan surat-surat lain, seperti Al Baqarah: 173; Al An’am: 146; Al A’raf: 157; At Tahrim: 1.
Nash-nash tersebut diatas menentukan bahwa benda hanya memiliki dua alternatif status hukum, yaitu halal atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak ada alternatif status selain itu.
Menghalalkan atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah. Tidak boleh seorang pun turut campur dengan-Nya dalam menentukan halal dan haram. Halal dan haran adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang diindra, yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai (pakaian), dikendarai, didiami, yang dapat digunakan ataupun yang tidak dapat digunakan.
Allah membolehkan kita memanfaatkan segala sesuatu/benda yang ada, yang diperoleh manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan dari yang umum itu sebagian kecil benda yang diharamkan-Nya melalui nash secara khusus. Hukum ibahah (mubah) dapat dipahami dari nash-nash syara’ secara global (mujmal) membolehkan segala sesuatu seperti firman Allah SWT:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (dimanfaatkan oleh) kamu.” (QS. Al Baqarah: 29)

Ada pula penentuan mubah dengan lafadz yang bersifat umum misalnya:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Tidak kamu memperhatikan sesungguhnya Allah mengadakan untuk (kepentinganmu) apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (QS. Lukman: 20)

Sedangkan nash lainnya ada yang bersifat umum sekaligus memberikan perinciannya, seperti surat-surat ini: Al Baqarah: 22; Ibrahim: 32-34; Qaaf: 9-11; Al A’raf: 32; Al Baqarah: 173; dan Al An’am: 145.
Ayat-ayat diatas menunjukan bahwa Allah SWT  membolehkan segala sesuatu yang ada untuk manusia. Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan dengan nash secara khusus. Oleh karena itu hukum asal dari segala sesuatu/benda adalah mubah. 

Hukum Bagi Masalah Baru
Masalah syari’at tidak datang dengan hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi Islam datang dengan makna-makna umum (khuthuthun ‘aridhoh/garis global) yang terkait dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat ‘manusia sebagai manusia’, sehingga tidak terikat dengan waktu dan kondisi/tempat. Kemudian mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai makna cabang yang lain.
Jika muncul suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan difahami. Kemudian, dilakukan “istinbath” hukum (penggalian status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung dalam syari’at maka jadilah hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai satu hukum Allah dalam masalah tersebut.
Kaum muslimin melakukan istinbath sejak wafatnya Rasulullah saw, sehingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada syari’at Islam dalam kehidupan mereka. Di masa Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak dijumpai pada zaman Rasulullah saw, begitu pula telah muncul permasalahan-permasalah baru di masa khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini para mujtahidin berusaha menggali status hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya belum pernah ditemukan.
Demikianlah kaum muslimin telah melaksanakan syari’at Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari’at Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia, tidak satu pun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam. Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengaitkan seluruh perbuatannya dengan hukum syari’at Islam, serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.

Hukum Tentang Perbuatan Manusia
Hukum Syara' adalah ‘khitaabus-syaari’ (seruan pembuat hokum, Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum Syariat ditetapkan berdasarkan adanya ‘khithab’ (seruan) tersebut, sedang kejelasannya tergantung pada jelasnya makna dari suatu khithab. Khithab Syar’i adalah apa-apa yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan sejenisnya tidak termasuk dalam pengertian hukum syar’i). Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’ sangat bertumpu pada pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, sebab keduanya merupakan sumber tasyri’.
Dengan memahami jenis khithab-nya maka tidak setiap khithab syar’i itu wajib dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya atau haram melakukannya dan mendapat siksa bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan dosa dan kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari penjelasan hukum bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat atau hadits yang menerangkan adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau larangan di dalam ayat Al-Quran dan hadits. Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang memahami makna tasyri. Karenanya merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis khithab sebelum mengeluarkan pendapatnya yang menyangkut penunjukan jenis hukum syara’.

Memahami Makna Khithab

Memahami makna ayat atau hadits haruslah dengan pemahaman secara tasyri’ dan bukan pemahaman secara lughowiyah (bahasa) saja. Dengan demikian seorang muslim tidak akan melakukan kelancangan dan kesalahan. Mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah SWT:

قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya...” (QS. At-Taubah: 29)
Dari ayat ini sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah tersebut adalah wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum wajib/fardhu tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja, melainkan juga adanya isyarat-isyarat (qarinah) lain yang menunjukkan bahwa perkara ini menuntut suatu perbuatan dengan ‘tuntutan yang pasti’. Qarinah yang dimaksud misalnya nash-nash yang lain seperti firman Allah berikut ini:

إِلاَّ تَنفِرُواْ يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan mengadzab kamu dengan adzab yang pedih “ (QS. At-Taubah: 39)

Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah berfirman:

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ ...
“Janganlah kamu mendekati zina...” (QS. Al-Israa: 32)

Dari sini sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum haram tersebut tidak muncul hanya karena sighot nahy (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan isyarat-isyarat (qarinah) lain yang merupakan nash-nash lain misalnya firman Allah SWT:

...إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
 “...sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera“ (QS. An-Nuur: 2)

Begitu pula hukum-hukum yang diambil dari hadits Rasullullah saw, misalnya ketika Rasulullah bersabda:

“Shalat berjamaah itu lebih afdol dari shalat sendiri dengan kelebihan dua puluh tujuh derajat“
(HR. Imam Malik, Imam Ahmad dll.)
Sesungguhnya Rasul memerintahkan shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu pula dalam sabdanya yang lain:

Aku pernah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian“ (HR. Al-Hakim)

Hadits tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam kedua hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu. Hukum sunnah tersebut tidak akan ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap orang yang tidak ziarah kubur. Jadi isyarat tersebutlah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak bersifat wajib. Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda:

“Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak termasuk golonganku“
(HR. Iman Thabrani)

Diketahui pula bahwa Rasulullah saw melarang ‘tabathul’ (tidak mau beristri atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh:

“Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah tabaththul”.

Dari kedua hadits tersebut di atas dapat dipahami bahwa Rasulullah saw mencegah orang-orang yang mampu, untuk tidak beristri atau bersuami dalam haditsnya pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak memiliki pasangan dalam hadits yang kedua. Meskipun tidak berarti ketiadaan istri atau suami bukanlah haram secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa larangan itu hukumnya makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain, misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang mampu tetapi tidak menikah. Dan ketika Allah SWT. berfirman:



 وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
“Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah..” (QS Al-Maidah: 2)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا
 “Apabila telah selesai shalat Jum’at maka menyebarlah “ (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom haji dan memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum’at. Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukkan hukum mubah. Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya ketika ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi seusai shalat Jum’at sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu shalat Jum’at. Demikianlah isyarat (qorinah) tersebut menunjukkan bahwa perkara tersebut adalah mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran pada kondisi yang demikian itu adalah mubah.
Jadi untuk mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri’ dan kaitannya dengan qorinah yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syariat itu bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka jenis hukum syar’i itu ada lima:
1.      Fardlu yang bermakna wajib
Yaitu seruan asy-syaari’ yang berkaitan dengan perbuatan manusia berupa tuntutan untuk melakukan/menjalankan dengan sifat tuntutan jazm (pasti), artinya jika tuntutan itu diabaikan/tidak dilakukan maka ada ancaman siksa atau dosa. Contohnya jihad, shalat, shaum, dll.
2.      Haram yang bermakna terlarang
Yaitu seruan asy-syaari’ mengenai suatu perbuatan untuk meninggalkan dengan sifat tuntutan yang pasti (jazm). Artinya apabila perbuatan itu dilakukan/dilanggar maka ia akan mendapat siksa/dosa serta hukuman di dunia (uqubat). Misalnya haramnya riba, zina, minum khamr, dll.
3.      Mandub (sunnah)
Yaitu seruan asy-syaari’ berkaitan dengan suatu perbuatan untuk dilakukan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (pasti), apabila perbuatan itu dilakukan maka ia tidak mendapat siksa/dosa.
4.      Makruh
Yaitu seruan asy-syaari’ yang menuntut untuk meninggalkan perbuatan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (tidak pasti). Contohnya: tabbatul (membujang), shalat dihadapan makanan atau sambil menahan buang air atau kentut.
5.      Mubah
Yaitu seruan Syari’ yang berkaitan dengan perbuatan berupa pilihan terhadap perbuatan tersebut, apakah menjalankan atau meninggalkan. Seruan berupa pilihan ini dapat diketahui dari qorinah-qorinah seperti diamnya Rasulullah saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui Rasul dan sebelumnya tidak ada perintah atau larangan berkaitan dengan perbuatan tersebut, perintah melakukan aktivitas yang sebelumnya dilarang atau melalui kata kalimat yang secara syar’i memiliki arti mubah. Contoh mubahnya jual beli, bertebaran di muka bumi setelah shalat Jum’at, dll.
Kelima macam hukum syara’ ini dikenal dengan istilah ahkamul khomsah.

Tuntutan dalam Khithab

Kadang-kadang “khithab syar’i“ menuntut untuk melakukan suatu perbuatan, atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan, atau memberikan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan tuntutan tersebut adakalanya yang sungguh-sungguh (pasti atau jaazim) dan ada kalanya tidak jaazim.
Jika tuntutan ini bersifat jaazim maka akan menjadi fardlu, dan jika tuntutan ini bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi haram, tetapi yang bersifat tidak jaazim maka hukumnya akan menjadi hukum makruh, Adapun yang memberikan alternatif maka hukumnya akan menjadi mubah.
Jadi, upaya penelaahan terhadap nash atau dalil-dalil syar’i untuk menetapkan suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat atau hadits. Dan tidak semua perintah berbentuk ‘ fiil amr’/kata perintah. Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah justru tidak berujung pada munculnya sikap yang berani mempermainkan agama, membuat hukum-hukum baru, atau metode jihad baru.

Makna Fardlu Kifayah
Yang dimaksud dengan fardlu adalah khithab syar’i (seruan Allah) yang berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman Allah SWT:

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ...
“Dirikanlah shalat ...”

Juga sabda Rasulullah :

“Seseorang dijadikan Imam adalah untuk diikuti“ (HR Ahmad, Abu Daud, Bukhari dan Muslim)
Juga sabdanya:

“Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu bai’at di atas pundaknya, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)

Semua nash tersebut adalah khithab syar’i yang berkaitan dengan tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang menyebabkan tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya qorinah (isyarat) yang berkaitan dengan tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib dilaksanakan.
Sesuatu yang wajib atau pasti, tidak akan gugur (hilang kewajiban melaksanakannya) dalam kondisi apapun sampai amalan fardlu tersebut terlaksana secara sempurna. Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan mendapat siksa. Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara “fardlu ‘ain“ dengan “fardlu kifayah”, semuanya itu adalah fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT:

وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ ...
 “Dirikanlah shalat “ (QS. Al-Baqarah: 43)

adalah fardlu ‘ain dan firman-Nya:

انْفِرُواْ خِفَافًا وَثِقَالاً وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ
“Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat dan berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian.“ (QS. At-Taubah: 41)

adalah fardlu kifayah. Sedangkan Sabda Rasulullah saw:

“Seseorang dijadikan Imam (shalat) adalah fardlu untuk diikuti “ (HR. Ahmad)

adalah fardlu ‘ain. Juga sabdanya pula:

“Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah“ (HR. Muslim dan Ahmad)

adalah fardlu kifayah.
Tetapi semua itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh “khithab syar’i” dan berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Karenanya usaha untuk memisahkan fardlu ‘ain dengan fardlu kifayah dari sisi yang sama-sama wajib adalah suatu perbuatan dosa kepada Allah SWT. dan menyimpang dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan amalan-amalan fardlu. Begitu pula dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara keduanya (fardlu ‘ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu yang fardlu tidak akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana kewajiban tersebut sebagaimana yang dituntut syara’. Sama saja apakah tuntutan itu tertuju pada setiap muslim (‘ain) seperti shalat lima waktu ataupun yang tertuju pada seluruh kaum muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali khilafah. Semuanya tidak akan gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna, artinya hingga shalat itu telah dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad dan khilafah. Dengan demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan gugur atas setiap muslim selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya. Bahkan setiap muslim tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum sempurna (belum berhasil).
Adalah suatu kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin ‘sedang melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut. Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur, jika sebagian kaum muslimin ‘telah’ melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan yang dituntut tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi kesempatan untuk menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu kifayah, dari sini ia sama persis denga fardlu ‘ain.
Oleh karena itu, jihad terhadap Prancis (1953) di Aljazair adalah fardlu/wajib untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin Indonesia mengusir Belanda. Ketika penduduk Aljazair bangkit melawan Perancis, maka tidaklah berarti bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya, sehingga Perancis benar-benar keluar dari Aljazair dan sempurna kemenangan atas kaum muslimin. Demikian pula terhadap kaum Muslimin Indonesia disaat mereka mengusir penjajah Belanda.
Demikianlah, setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin, dan tidak gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah terlaksana dengan sempurna.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar