Seluruh amal
perbuatan manusia, tidak memiliki suatu status hukum sebelum datangnya
pernyataan dari Syari’at. Amal itu tidak tergolong wajib, sunnah, haram,
makruh, atau pun mubah. Manusia boleh melakukan amal itu sesuai dengan
pengetahuannya dan berdasarkan pandangan atas kemaslahatan manusia. Sebab,
tidak ada ‘taklif’ (beban hukum)
sebelum sampai pernyataan syara’. Allah SWT berfirman:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً
“(Dan)
Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang Rasul.”
(QS. Al-Israa: 15)
Berdasarkan
ayat tersebut dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa Allah SWT memberikan jaminan
bahwa tidak akan datang adzab, kepada hamba-Nya atas perbuatan yang mereka
lakukan, sebelum diutusnya seorang Rasul kepada mereka. Jadi mereka tidak akan
dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang mereka lakukan. Sebab, mereka
tidak terbebani oleh satu hukum pun.
Hanya saja,
tatkala Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada mereka, atau telah sampai
kepada suatu kaum, penjelasan syara’,
maka terikatlah mereka dengan risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Allah
SWT berfirman:
رُّسُلاً مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ
لِلنَّاسِ عَلَى اللّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ
“(Mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu.” (QS. An-Nisaa: 165)
Dengan
demikian, siapa pun yang tidak beriman kepada Rasul tersebut, pasti ia akan
dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak, tentang ketidakimanannya
dan ketidakterikatannya terhadap hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut. Begitu
pula bagi yang beriman kepada Rasul serta mengikatkan diri pada hukum yang
dibawanya ia pun akan dimintai pertanggungjawaban terhadap penyelewengan
sebagian hukum-hukum yang dibawa Rasul tersebut.
Dan
berdasarkan kaidah syara’ “Asal dari perbuatan (manusia) terikat
dengan hukum syara”. Maka untuk itu seluruh kaum muslimin diperintahkan
melakukan amal perbuatannya sesuai dengan hukum Islam, karena kewajiban atas
mereka untuk menyesuaikan amal perbuatannya dengan segala perintah dan larangan
Allah SWT. Allah Swt berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“...
apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah...” (QS. Al-Hasyr: 7)
Tidak berarti
dikatakan disini, bahwa barang siapa yang tidak datang kepadanya suatu perintah
atau larangan dari Rasul secara langsung (karena masa Rasulullah saw telah
lewat) maka ia tidak termasuk mukallaf (orang
yang terbebani hukum). Tidak dapat dikatakan demikian, sebab beban hukum
menurut syara’ adalah ‘aam (bersifat umum), sebagaimana
umumnya risalah untuk seluruh manusia. Selain itu tidak dapat dinyatakan dengan
suatu pengertian bahwa ada perbuatan-perbuatan tersebut yang lolos dari hukum
Syari’at. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ
إِنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
“Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah utusan Allah untuk kamu
semua.”
(QS. Al-A’raf: 158)
Hukum Asal Perbuatan Terikat Hukum
Syara’
Perbuatan
adalah apa-apa yang dilakukan manusia berupa aktivitas, baik ucapan atau
perbuatan untuk memenuhi kebutuhannya. Hukum syara’ didefinisikan sebagai seruan asy-syaari’ (pembuat hukum, Allah) yang berkaitan
dengan perbuatan manusia. Hukum syara’
hanya ditunjukan kepada perbuatan, tanpa memperhatikan benda yang berkaitan
dengan perbuatan tersebut.
Ulama yang
menelusuri/mendalami nash-nash
dan hukum-hukum syara’,
mendapati bahwa syara’ telah
membatasi hukum-hukum terhadap perbuatan dengan lima macam status yaitu wajib,
haram, sunnah, makruh dan mubah.
Penentuan hukum perbuatan
itu mubah, sunnah, makruh, wajib dan haram harus didasarkan pada (adanya) dalil sam’i (dalil yang sampai pada kita
melalui riwayat) tentang hukum-hukum tersebut. Tidak adanya dalil sam’i tidak mungkin menetapkan
suatu hukumn hukum atas perbuatan dan tidak mungkin menetapkan suatu hukum atas
perbuatan tersebut mubah, haram, makruh, sunnah dan wajib kecuali setekah
diketahui adanya dalil sam’i yang
menetapkannya. Ini bukan berarti meninggalkan tuntutan untuk mencari hukum
Allah atas perbuatan tersebut, dan membatalkan hukum syara atau meninggalkan
tugas dan kewajiban hidup dengan alasan tidak mengetahui hukum Allah, karena
semuanya ini tidak dibenarkan oleh hukum syara’.
Akan tetapi perbuatan manusia membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah,
yaitu diwajibkannya mencari dalil-dalil syar’i
dan menyesuaikan dalil-dalil dengan fakta tersebut sehingga dapat diketahui
hukum Allah atas perbuatan tersebut, apakah haram, wajib, sunnah, makruh atau
mubah. Hal ini disebabkan tolok ukur perbuatan bagi seorang muslim berupa
perintah dan larangan. Allah yang telaah mewajibkan seorang muslim untuk
mengetahui terlebih dahulu hukum Allah atas perbuatan yang akan dilakukannya,
apakah mubah, sunnah, makruh, haram atau wajib. Jadi setiap perbuatan mesti
berkait dengan hukum yang lima tadi, antara haram, makruh, mubah, sunnah atau
wajib. Dan setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui
lebih dahulu hukumnya, karena Allah akan meminta tanggung jawab atas setiap
perbuatannya. Sebagaimana firman Allah:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِيْنَ(92)عَمَّا كَانُوا
يَعْمَلُونَ(93)
”Maka
demi Rabbmu, pasti kami akan menanyakan (menghisab) mereka tentang apa yang
mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al Hijr:
92-93)
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ
وَلاَ
تَعْمَلُونَ
مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ
”Kami
tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat Al Qur’an dan
kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya.”
(QS. Yunus: 61)
Yang dimaksud
dengan “Kami mejadi saksi” dalam ayat
di atas, berupa pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan
perbuatan mereka dan bahwa Dia akan menghisab dan menanyakan mereka. Rasulullah
saw pun menjelaskan tentang wajibnya melakukan perbuatan sesuai dengan hukum
Allah (hukum Islam) dengan sabdanya:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak
didasarkan perintah kami, maka tertolak”
Dari sini maka jelaslah bahwa setiap perbuatan merupakan hukum syara’ yang wajib bagi seseorang untuk
mencari dalil syara’ yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu sebelum dilakukan. Ditetapkannya
status hukum suatu perbuatan sebagai mubah, makruh, wajib, sunnah atau haram
ditentukan dari adanya dalil sam’i
bagi hukum tersebut, yaitu dalil yang bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’
(sahabat) dan qiyas.
Asal Hukum Benda Adalah Ibahah (Mubah)
Benda adalah segala
sesuatu yang dimanfaatkan, pada hakikatnya berbeda dengan perbuatan. Perbuatan
manusia selalu berhubungan dengan atau menggunakan sesuatu agar kebutuhannya
terpenuhi, seperti makan, minum, berjalan, berdiri dan sebagainya, yang
kesemuanya itu termasuk dalam kategori perbuatan/tindakan. Sedangkan jual beli,
sewa menyewa, perwakilan, jaminan dan lain-lain termasuk k elompok perbuatn berupa ucapan.
Kedua jenis
perbuatan tersebut berhubungan dengan sesuatu/materi yang digunakan. Misalnya,
perbuatan makan berhubungan dengan benda-benda seperti roti, apel, daging babi
dan lain-lain. Seluruh benda mempunyai status hukum syara’, sebagaimana dengan perbuatan.
Mengenai
benda, ulama yang menelusuri nash-nash syara’
akan mengetahui bahwa Allah menentukan sifat atas benda dengan halal dan haram
saja, bukan dengan sebutan wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram. Allah
menjadikan halal atau haram sebagai sifat atas sesuatu/benda sebagaimana firman
Allah SWT:
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ
حَرَامًا وَحَلاَلاً
“Katakanlah:
‘Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan oleh Allah kepadamu, lalu
kamu menjadikan sebagiannya haram dan (sebagaian lainnya) halal." (QS. Yunus: 59)
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ
“(Dan)
janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara
dusta, ini halal dan ini haram.” (QS. An Nahl: 116)
Dan surat-surat lain, seperti
Al Baqarah: 173; Al An’am: 146; Al A’raf: 157; At Tahrim: 1.
Nash-nash tersebut diatas
menentukan bahwa benda hanya memiliki dua alternatif status hukum, yaitu halal
atau haram, tidak ada status yang ketiga, dan tidak ada alternatif status
selain itu.
Menghalalkan
atau mengharamkan suatu benda merupakan urusan Allah. Tidak boleh seorang pun
turut campur dengan-Nya dalam menentukan halal dan haram. Halal dan haran
adalah dua sifat yang salah satunya pasti ada untuk setiap benda yang diindra,
yang diciptakan oleh Allah SWT, seperti benda yang dapat dimakan, dipakai
(pakaian), dikendarai, didiami, yang dapat digunakan ataupun yang tidak dapat
digunakan.
Allah
membolehkan kita memanfaatkan segala sesuatu/benda yang ada, yang diperoleh
manusia dari usahanya. Allah hanya mengecualikan dari yang umum itu sebagian
kecil benda yang diharamkan-Nya melalui nash
secara khusus. Hukum ibahah (mubah)
dapat dipahami dari nash-nash syara’
secara global (mujmal) membolehkan
segala sesuatu seperti firman Allah SWT:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
“Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (dimanfaatkan oleh) kamu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Ada pula
penentuan mubah dengan lafadz
yang bersifat umum misalnya:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي
السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Tidak
kamu memperhatikan sesungguhnya Allah mengadakan untuk (kepentinganmu) apa yang
ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir
dan batin.” (QS. Lukman: 20)
Sedangkan nash lainnya ada yang bersifat umum
sekaligus memberikan perinciannya, seperti surat-surat ini: Al Baqarah: 22;
Ibrahim: 32-34; Qaaf: 9-11; Al A’raf: 32; Al Baqarah: 173; dan Al An’am: 145.
Ayat-ayat
diatas menunjukan bahwa Allah SWT membolehkan segala sesuatu yang ada untuk
manusia. Adapun yang dilarang adalah pengecualian, yang ditetapkan dengan nash secara khusus. Oleh karena itu
hukum asal dari segala sesuatu/benda adalah mubah.
Hukum Bagi Masalah Baru
Masalah syari’at tidak datang dengan
hukum-hukum secara terperinci mengenai suatu masalah, sehingga manusia merasa
cukup dengan hukum-hukum secara terperinci tersebut. Tetapi Islam datang dengan
makna-makna umum (khuthuthun ‘aridhoh/garis
global) yang terkait dengan problema hidup manusia; yaitu dengan melihat
‘manusia sebagai manusia’, sehingga tidak terikat dengan waktu dan
kondisi/tempat. Kemudian mengalirlah dibawah makna-makna umum tersebut berbagai
makna cabang yang lain.
Jika muncul
suatu permasalahan atau kejadian baru, maka ia harus dikaji dan difahami.
Kemudian, dilakukan “istinbath” hukum
(penggalian status hukum) dari dalil-dalil yang bersifat umum yang terkandung
dalam syari’at maka jadilah
hasil istinbath dari suatu pendapat sebagai
satu hukum Allah dalam masalah tersebut.
Kaum muslimin
melakukan istinbath sejak wafatnya
Rasulullah saw, sehingga lenyapnya kekhalifahan Islam di muka bumi ini. Kaum
muslimin tidak pernah berhenti mengikatkan diri mereka kepada syari’at Islam dalam kehidupan
mereka. Di masa Abu Bakar ra muncul permasalahan-permasalahan baru yang tidak
dijumpai pada zaman Rasulullah saw, begitu pula telah muncul
permasalahan-permasalah baru di masa khalifah Harun Al-Rasyid yang tidak
ditemui di zaman Abu Bakar ra. Di sini para mujtahidin berusaha menggali status
hukum terhadap ratusan bahkan ribuan masalah yang sebelumnya belum pernah
ditemukan.
Demikianlah
kaum muslimin telah melaksanakan syari’at
Islam dalam setiap masalah dan kejadian, karena syari’at Islam telah mencakup seluruh perbuatan manusia, tidak
satu pun masalah yang terjadi kecuali ada pemecahan hukumnya menurut Islam.
Oleh karena itu wajib bagi setiap muslim untuk senantiasa mengaitkan seluruh
perbuatannya dengan hukum syari’at Islam,
serta tidak melakukan suatu perbuatan kecuali jika sesuai dengan perintah dan
larangan Allah SWT.
Hukum Tentang Perbuatan Manusia
Hukum Syara' adalah ‘khitaabus-syaari’ (seruan pembuat hokum, Allah dan Rasul-Nya) yang
berkaitan dengan amal perbuatan manusia. Hukum Syariat ditetapkan berdasarkan
adanya ‘khithab’ (seruan) tersebut,
sedang kejelasannya tergantung pada jelasnya makna dari suatu khithab. Khithab Syar’i adalah apa-apa yang terdapat dalam Al-Quran dan
As-Sunnah yang berupa perintah dan larangan (kisah, riwayat dan sejenisnya
tidak termasuk dalam pengertian hukum syar’i).
Oleh karena itu pemahaman terhadap hukum syara’
sangat bertumpu pada pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah, sebab keduanya
merupakan sumber tasyri’.
Dengan
memahami jenis khithab-nya maka tidak
setiap khithab syar’i itu wajib
dilaksanakan dan disiksa bila meninggalkannya atau haram melakukannya dan
mendapat siksa bila dikerjakannya. Oleh karenanya, merupakan suatu perbuatan
dosa dan kelancangan terhadap Dienullah, bila seseorang tergesa-gesa mencari
penjelasan hukum bahwa hal itu adalah fardlu dengan hanya membaca satu ayat
atau hadits yang menerangkan
adanya tuntutan untuk melakukannya. Pada masa sekarang ini banyak kaum muslimin
yang terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. Yakni mereka terburu-buru
menghalalkan atau mengharamkan suatu perkara, hanya membaca satu perintah atau
larangan di dalam ayat Al-Quran dan hadits.
Hal ini jarang terjadi pada orang-orang yang memahami makna tasyri. Karenanya
merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk memahami jenis khithab sebelum mengeluarkan pendapatnya
yang menyangkut penunjukan jenis hukum syara’.
Memahami Makna Khithab
Memahami makna
ayat atau hadits haruslah
dengan pemahaman secara tasyri’ dan
bukan pemahaman secara lughowiyah
(bahasa) saja. Dengan demikian seorang muslim tidak akan melakukan kelancangan
dan kesalahan. Mengharamkan yang telah dihalalkan Allah dan menghalalkan apa
yang diharamkan Allah. Misalnya firman Allah SWT:
قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan Allah dan Rasul-Nya...” (QS. At-Taubah: 29)
Dari ayat ini
sesungguhnya Allah telah memerintahkan jihad dan perintah tersebut adalah
wajib, Allah akan menyiksa bila meninggalkannya. Namun hukum wajib/fardhu
tersebut tidak muncul hanya karena adanya bentuk perintah (amar) saja, melainkan juga adanya isyarat-isyarat (qarinah) lain yang menunjukkan bahwa
perkara ini menuntut suatu perbuatan dengan ‘tuntutan yang pasti’. Qarinah yang dimaksud misalnya nash-nash yang lain seperti firman
Allah berikut ini:
إِلاَّ تَنفِرُواْ يُعَذِّبْكُمْ
عَذَابًا أَلِيمًا
“(Dan) jika kamu tidak pergi berperang, maka Allah akan
mengadzab kamu dengan adzab yang pedih “ (QS. At-Taubah: 39)
Demikian pula mengenai haramnya zina, Allah berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ ...
“Janganlah kamu mendekati zina...” (QS. Al-Israa: 32)
Dari sini
sesungguhnya Allah telah melarang perbuatan zina, dimana Allah akan menyiksa
para pelakunya dari perbuatan tersebut. Walaupun demikian, status hukum haram
tersebut tidak muncul hanya karena sighot
nahy (bentuk larangan) dalam ayat itu saja, melainkan juga berdasarkan
isyarat-isyarat (qarinah) lain yang
merupakan nash-nash lain misalnya
firman Allah SWT:
...إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“...sesungguhnya
(zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا
كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera“ (QS. An-Nuur: 2)
Begitu pula
hukum-hukum yang diambil dari hadits
Rasullullah saw, misalnya ketika Rasulullah bersabda:
“Shalat berjamaah itu lebih afdol dari shalat sendiri dengan
kelebihan dua puluh tujuh derajat“
(HR. Imam Malik, Imam
Ahmad dll.)
Sesungguhnya Rasul memerintahkan
shalat berjamaah, meskipun tuntutan tersebut tidak berbentuk perintah. Begitu
pula dalam sabdanya yang lain:
“Aku pernah mencegah kalian untuk berziarah kubur, maka sekarang
berziarahlah karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian“ (HR.
Al-Hakim)
Hadits
tersebut memerintahkan untuk ziarah kubur, akan tetapi perintah dalam kedua
hadits itu bentuknya sunnah dan bukan fardlu.
Hukum sunnah tersebut tidak akan ditetapkan sebelum adanya isyarat yang lain,
misalnya diamnya Rasulullah terhadap orang yang tidak ziarah kubur. Jadi
isyarat tersebutlah yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak bersifat wajib.
Dalam sabdanya yang lain, beliau bersabda:
“Siapa saja yang mampu tetapi tidak menikah, maka ia tidak
termasuk golonganku“
(HR. Iman Thabrani)
Diketahui pula
bahwa Rasulullah saw melarang ‘tabathul’
(tidak mau beristri atau bersuami) sebagaimana dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Samuroh:
“Bahwa sesungguhnya Nabi saw mencegah tabaththul”.
Dari kedua hadits tersebut di atas dapat
dipahami bahwa Rasulullah saw mencegah orang-orang yang mampu, untuk tidak
beristri atau bersuami dalam haditsnya
pertama, dan Rasulullah melarang secara mutlak terhadap seseorang untuk tidak
memiliki pasangan dalam hadits
yang kedua. Meskipun tidak berarti ketiadaan istri atau suami bukanlah haram
secara mutlak. Tetapi larangan ini menunjukkan bahwa larangan itu hukumnya
makruh. Status makruh ini diperoleh berdasarkan isyarat-isyarat yang lain,
misalnya diamnya Rasulullah terhadap sebagian sahabat yang mampu tetapi tidak
menikah. Dan ketika Allah SWT. berfirman:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ
“Apabila telah ditunaikan haji, maka berburulah..” (QS Al-Maidah: 2)
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ
فَانتَشِرُوا
“Apabila telah selesai
shalat Jum’at maka menyebarlah “ (QS. Al-Jumu’ah: 10)
Sesungguhnya
Allah SWT memerintahkan berburu seusai melaksanakan ihrom haji dan
memerintahkan bertebaran di muka bumi setelah melaksanakan shalat Jum’at.
Tetapi perintah berburu seusai melaksanakan ihrom tersebut bukanlah wajib atau
sunnah, (meskipun ada kata perintah) tetapi keduanya menunjukkan hukum mubah.
Hukum mubah ini terlihat dari adanya isyarat dimana Allah telah melarangnya
ketika ihrom. Demikian pula Allah memerintahkan bertebaran di muka bumi seusai
shalat Jum’at sesudah Dia melarang hal tersebut ketika masuk waktu shalat
Jum’at. Demikianlah isyarat (qorinah) tersebut menunjukkan bahwa
perkara tersebut adalah mubah, artinya bahwa perbuatan berburu dan bertebaran
pada kondisi yang demikian itu adalah mubah.
Jadi untuk
mengetahui jenis hukum dari suatu nash harus
bersandar pada pemahaman nash tersebut secara tasyri’ dan kaitannya dengan qorinah
yang memberikan petunjuk terhadap makna nash tersebut. Dari sini jelaslah bahwa hukum syariat itu
bermacam-macam adanya. Menurut hasil pemahaman terhadap semua nash dan hukum-hukum, maka jenis
hukum syar’i itu ada lima:
1.
Fardlu yang bermakna wajib
Yaitu seruan asy-syaari’ yang berkaitan dengan perbuatan
manusia berupa tuntutan untuk melakukan/menjalankan dengan sifat tuntutan jazm (pasti), artinya jika tuntutan itu
diabaikan/tidak dilakukan maka ada ancaman siksa atau dosa. Contohnya jihad,
shalat, shaum, dll.
2.
Haram yang bermakna terlarang
Yaitu seruan asy-syaari’
mengenai suatu perbuatan untuk meninggalkan dengan sifat tuntutan yang pasti (jazm). Artinya apabila perbuatan itu
dilakukan/dilanggar maka ia akan mendapat siksa/dosa serta hukuman di dunia (uqubat). Misalnya haramnya riba, zina,
minum khamr, dll.
3.
Mandub (sunnah)
Yaitu seruan asy-syaari’
berkaitan dengan suatu perbuatan untuk dilakukan dengan sifat tuntutan yang
tidak jazm (pasti), apabila perbuatan
itu dilakukan maka ia tidak mendapat siksa/dosa.
4.
Makruh
Yaitu seruan
asy-syaari’ yang menuntut untuk
meninggalkan perbuatan dengan sifat tuntutan yang tidak jazm (tidak pasti). Contohnya: tabbatul
(membujang), shalat dihadapan makanan atau sambil menahan buang air atau
kentut.
5.
Mubah
Yaitu seruan Syari’ yang
berkaitan dengan perbuatan berupa pilihan terhadap perbuatan tersebut, apakah
menjalankan atau meninggalkan. Seruan berupa pilihan ini dapat diketahui dari qorinah-qorinah seperti diamnya
Rasulullah saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui Rasul dan sebelumnya
tidak ada perintah atau larangan berkaitan dengan perbuatan tersebut, perintah
melakukan aktivitas yang sebelumnya dilarang atau melalui kata kalimat yang
secara syar’i memiliki arti mubah.
Contoh mubahnya jual beli, bertebaran di muka bumi setelah shalat Jum’at, dll.
Kelima macam
hukum syara’ ini dikenal dengan
istilah ahkamul khomsah.
Tuntutan dalam Khithab
Kadang-kadang “khithab syar’i“ menuntut untuk
melakukan suatu perbuatan, atau menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan,
atau memberikan pilihan untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Dan
tuntutan tersebut adakalanya yang sungguh-sungguh (pasti atau jaazim) dan ada kalanya tidak jaazim.
Jika tuntutan
ini bersifat jaazim maka akan menjadi
fardlu, dan jika tuntutan ini bersifat tidak jaazim maka akan menjadi hukum sunnah. Sedangkan bila tuntutan
tersebut untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan), bersifat jaazim maka hukumnya akan menjadi haram,
tetapi yang bersifat tidak jaazim
maka hukumnya akan menjadi hukum makruh, Adapun yang memberikan alternatif maka
hukumnya akan menjadi mubah.
Jadi, upaya
penelaahan terhadap nash atau
dalil-dalil syar’i untuk menetapkan
suatu status hukum bagi perbuatan manusia atau suatu benda, memerlukan
kecermatan dan kemampuan. Suatu perbuatan bersifat wajib atau haram, tidak
semata-mata diambil dari adanya bentuk perintah atau larangan pada suatu ayat
atau hadits. Dan tidak semua perintah
berbentuk ‘ fiil amr’/kata perintah.
Oleh karena itu betapa pentingnya hal ini diperhatikan, agar semboyan kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
justru tidak berujung pada munculnya sikap yang berani mempermainkan agama,
membuat hukum-hukum baru, atau metode jihad baru.
Makna Fardlu Kifayah
Yang dimaksud
dengan fardlu adalah khithab syar’i
(seruan Allah) yang berkaitan dengan tuntutan yang pasti (jaazim) untuk berbuat sesuatu, seperti firman Allah SWT:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ...
“Dirikanlah shalat ...”
Juga sabda Rasulullah :
“Seseorang dijadikan Imam adalah untuk diikuti“ (HR Ahmad, Abu Daud,
Bukhari dan Muslim)
Juga sabdanya:
“Siapa saja yang mati dan tidak ada suatu bai’at di atas
pundaknya, maka ia telah mati dalam keadaan jahiliyah.” (HR. Muslim)
Semua nash tersebut adalah khithab syar’i yang berkaitan dengan
tuntutan terhadap suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Adapun yang
menyebabkan tuntutan itu menjadi tuntutan yang pasti adalah adanya qorinah (isyarat) yang berkaitan dengan
tuntutan tersebut sehingga jadilah tuntutan tersebut bersifat pasti dan wajib
dilaksanakan.
Sesuatu yang
wajib atau pasti, tidak akan gugur (hilang kewajiban melaksanakannya) dalam
kondisi apapun sampai amalan fardlu tersebut terlaksana secara sempurna.
Sedangkan orang yang meninggalkan amalan fardlu, maka ia akan mendapat siksa.
Ia akan tetap berdosa selama belum melaksanakannya. Dan dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara “fardlu ‘ain“ dengan
“fardlu kifayah”, semuanya itu adalah
fardlu untuk seluruh kaum Muslimin. Jadi firman Allah SWT:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ ...
“Dirikanlah shalat “ (QS. Al-Baqarah: 43)
adalah fardlu ‘ain dan firman-Nya:
انْفِرُواْ خِفَافًا وَثِقَالاً
وَجَاهِدُواْ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ
“Berangkatlah kamu sekalian dengan perasaan ringan atau berat
dan berjihadlah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian.“ (QS. At-Taubah: 41)
adalah fardlu kifayah.
Sedangkan Sabda Rasulullah saw:
“Seseorang dijadikan Imam (shalat) adalah fardlu untuk
diikuti “
(HR. Ahmad)
adalah fardlu ‘ain. Juga sabdanya pula:
“Siapa saja mati sedangkan dipundaknya tidak ada bai’at, maka
dia mati dalam keadaan jahiliyah“ (HR. Muslim dan Ahmad)
adalah fardlu kifayah.
Tetapi semua
itu adalah fardlu yang telah ditetapkan oleh “khithab syar’i” dan berkaitan dengan tuntutan yang pasti untuk
melakukan sesuatu perbuatan.
Karenanya
usaha untuk memisahkan fardlu ‘ain
dengan fardlu kifayah dari sisi yang sama-sama wajib adalah suatu perbuatan
dosa kepada Allah SWT. dan menyimpang dari jalan Allah. Juga suatu kesalahan
bila melakukan kelalaian terhadap pelaksanaan amalan-amalan fardlu. Begitu pula
dengan gugurnya suatu kewajiban, maka antara keduanya (fardlu ‘ain dan fardlu kifayah) tidak ada perbedaan. Suatu
yang fardlu tidak akan gugur melaksanakan kewajibannya, sehingga terlaksana
kewajiban tersebut sebagaimana yang dituntut syara’. Sama saja apakah tuntutan itu tertuju pada setiap muslim
(‘ain) seperti shalat lima waktu
ataupun yang tertuju pada seluruh kaum muslimin (kifayah) seperti jihad dan menegakkan kembali khilafah. Semuanya
tidak akan gugur kecuali telah dilaksanakan dan telah terwujud secara sempurna,
artinya hingga shalat itu telah dilaksanakan serta telah terwujud adanya jihad
dan khilafah. Dengan demikian kewajiban melaksanakan fardlu kifayah tidak akan
gugur atas setiap muslim selama belum cukup dan belum sempurna pelaksanaannya.
Bahkan setiap muslim tetap memikul dosa selama pelaksanaan fardlu kifayah belum
sempurna (belum berhasil).
Adalah suatu
kesalahan bila dikatakan bahwa, andai sebagian kaum muslimin ‘sedang
melaksanakan fardlu kifayah, berarti telah gugur kewajiban tersebut.
Pemahaman tersebut jelas salah. Sesungguhnya, fardlu kifayah akan gugur,
jika sebagian kaum muslimin ‘telah’ melaksanakannya dengan syarat bahwa amalan
yang dituntut tersebut telah dilaksanakan dan diwujudkan, serta tidak ada lagi
kesempatan untuk menetapkannya (telah sempurna hasilnya). Inilah fardlu
kifayah, dari sini ia sama persis denga fardlu
‘ain.
Oleh karena itu, jihad terhadap Prancis (1953) di Aljazair adalah
fardlu/wajib untuk seluruh kaum muslimin, sebagaimana jihad kaum muslimin
Indonesia mengusir Belanda. Ketika penduduk Aljazair bangkit melawan Perancis,
maka tidaklah berarti bahwa kewajiban itu gugur dari kaum muslimin seluruhnya,
sehingga Perancis benar-benar keluar dari Aljazair dan sempurna kemenangan atas
kaum muslimin. Demikian pula terhadap kaum Muslimin Indonesia disaat mereka
mengusir penjajah Belanda.
Demikianlah,
setiap fardlu kifayah tetap menjadi kewajiban atas kaum muslimin, dan tidak
gugur kewajiban tersebut sehingga amalan yang dituntut tersebut telah
terlaksana dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar